SMAN 2 BUSUNGBIU, PUCAKSARI, BUSUNGBIU, BULELENG, BALI: MELAYANI DENGAN HATI DEMI PESERTA DIDIK YANG BERAKHLAK MULIA, BERPRESTASI DAN BERTANGGUNG JAWAB

Jumat, 26 April 2013

Tips Memilih Jurusan yang Tepat


Menentukan jurusan kuliah termasuk salah satu keputusan besar dalam kehidupan seseorang. Pasalnya, keputusan tersebut biasanya berpengaruh besar bagi perjalanan karier dan masa depan seseorang.

Jadi, bagaimana caranya memilih jurusan yang tepat?

Melalui Indonesia Mengglobal, Alicia Kosasih berbagi tips praktis. Kandidat BSBA Boston University di bidang Ilmu Lingkungan dan Kebijakan Publik itu mencatat ada lima hal penting yang harus diperhatikan untuk memilih jurusan yang sesuai dengan bakat dan minat seseorang.


"Deciding Your Major: Finding Your Own Equilibrium of Academic Life"

Hello everyone! 

Perkenalkan, nama saya Alicia Kosasih, but you can call me Alicia for short. Saat ini saya adalah sophomore (murid tahun kedua) di Boston University dengan jurusan Finance dan Operations & Technology Management.  Ketika saya menulis artikel ini, cuaca Boston lagi bagus-bagusnya. Musim dingin tahun ini boleh dibilang cukup hangat dan jarang banget (boleh dibilang hampir ngga pernah) turun salju. Bandingkan dengan tahun lalu dimana di waktu siang-siang bolong aja cuacanya bisa mencapai -10 derajat Celcius dan tinggi tumpukan salju yang turun mencapai lebihdari 17 inci .. astaga!

Mungkin banyak dari kalian yang bingung kenapa saya memulai tulisan ini dengan random blabbing saya tentang musim dingin. Bagi saya, sangatlah penting untuk memilih major (jurusan) yang tepat. Ibaratnya, don’t be like seasons which always constantly change. And you want to have your college days bright and sunny instead of dark gloomy days like in the winter – only because you ended up picking the wrong major.

Bagi sebagian besar dari kita, menentukan jurusan mungkin jadi salah satu keputusan terbesar yang harus kita buat ketika kita akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, baik itu langsung masuk ke Universitas atau menempuh jalur 2+2 di Community College.  In my perspective, jurusan yang nantinya akan kita tekuni itu akan menjadi suatu framework yang akan mengubah hidup kita secara keseluruhan. Seiring kamu menekuni suatu bidang, banyak hal yang akan berubah,. Mulai dari cara pandang kamu melihat dan memecahkan suatu masalah, networks yang akan kamu bangun seiring kuliah, level of exposure terhadap suatu bidang yang harus kamu hadapi setiap hari, bahkan bagaimana kamu akan mengisi sebagian dari waktu luangmu! Di artikel ini, saya akan berusaha share apa saja faktor-faktor yang harus kita pertimbangkan saat memilih jurusan dan juga apa yang bisa kamu lakukan setelah kamu udah menentukan pilihan. So…here we go!

1. How can I decide my major?

If I can only answer this question in three words, my answer will be: Know yourself better.

Saya sepenuhnya percaya bahwa hanya diri kita yang paling mengerti apa yang terbaik buat kita. Disini, I think this will be a good time for me to reveal a bit more about myself. Ketika saya diterima di Boston University, Finance dan Operations & Technology Management bukanlah jurusan pilihan awal saya. Can anyone guess what was my initial choice was? Hampir semua teman-teman yang baru saya temui di Boston ngga pernah menyangka kalau dulunya saya adalah murid jurusan…Biochemistry. Ya, Biochemistry. Sangat berbeda kan sama bidang yang saya tekuni sekarang? Ketika saya memutuskan untuk beralih jurusan di tengah semester kedua, saya tahu bahwa itu merupakan salah satu keputusan terbesar yang pernah saya ambil. Sebuah pilihan yang akhirnya berhasil saya buat setelah mempertimbangkan banyak sekali hal. Namun, saya sama sekali tidak merasa menyesal dengan apa yang telah saya putuskan. Saya belajar dari pengalaman bahwa mampu mengenali what you actually want to do in future years is crucially essential for your future.  Here, it is no secret that switching majors are common practices among college students. Tapi saya merasa akan lebih baik kalau kamu memang udah mantap dengan pilihannya sejak awal, sehingga kamu bisa menyusun rencana-rencana yang akan kamu lakukan selama kuliah.

Lantas apa saja faktor yang harus kamu pertimbangkan ketika akan memilih jurusan? Bagi saya, ada lima faktor utama yang tidak boleh ditinggalkan ketika kamu akan membuat keputusan: Passion, Talent, Motivation, Personal Values, and Future Expectations. Let’s go through each one of them briefly, shall we?

Passion

Menurut saya, passion adalah salah satu faktor yang paling penting ketika kita mau memilih suatu jurusan. Bayangkan kalau kamu harus stuck menekuni jurusan yang sama sekali tidak kamu sukai selama empat tahun! Isn’t that a torture? Tentunya itu bukan sesuatu yang mau kamu alami di masa-masa kuliah. Your four years of college should be the times when you shape your identity, integrity, and perspectives on world issues. Waktu kuliah akan sama sekali jadi ngga menarik kalau kamu melakukannya karena terpaksa.

Berikut adalah beberapa pertanyaan yang bisa kamu jadikan sebagai checklist. Bukan hal yang mudah, memang, untuk menentukan satu jurusan yang bisa accommodate all our wishes, tapi semoga beberapa pertanyaan ini bisa membantu kamu:

– Kegiatan apa yang menarik bagi kamu untuk berpartisipasi di dalamnya?
Sama halnya seperti kebanyakan Universitas di Indonesia, semua perguruan tinggi di Amerika punya beragam gerakan mahasiswa di lingkungan kampusnya. Di kampus saya, Boston University, ada lebih dari lima ratus (ya, lima ratus!) student organizations and movements yang bisa kamu ikuti. Jangan takut kalau kamu merasa pilihan jurusan kamu tergolong eksentrik, seperti misalnya criminal justice, entomology, atau public policy. Salah satu keunggulan pendidikan di Amerika menurut saya is its limitless choice of majors.  Apapun jurusan yang muncul di pikiran kamu, biasanya pasti akan ada universitas disini yang menyelenggarakan program seperti itu. Budaya student organizations di Amerika juga sangat kuat, dan biasanya mereka punya peranan yang penting dalam membangun koneksi juga pengetahuan berdasarkan major yang kamu geluti.

 – Ketika kamu nonton TV, baca majalah, atau bolak-balik artikel di koran, artikel apa yang paling menarik buatmu?
This is no joke. Hobi baca berita tentang celebs or juicy gossips bisa dipandang dari sisi positif loh! Entertainment aside, bisa saja itu artinya kamu tertarik di bidang pertelevisian dan jurnalistik. Seperti yang saya gambarkan sebelumnya, U.S. Education System has every single major you can ever think of. Salah satu program paling populer di kampus saya adalah jurnalisme dan pertelevisian – dan tentunya kita tahu bahwa Amerika punya salah satu pusat industri perfilman termaju di dunia. Buat saya, salah satu cara paling gampang mengenali interest kita adalah berita apa yang pertama kali kita buka ketika kita lagi browsing for news, regardless of whether it is on the web, TV, radio, magazines, or papers.  This might be a good way to start identifying your personal interest in a specific major.

– Apa kamu tipe orang yang suka bekerja sendiri atau suka bekerja dalam kelompok?
Apa kamu merasa kamu lebih nyaman bekerja sendiri, atau kamu suka bekerja sama kelompok dan terlibat dalam banyak team projects? Tentunya hal ini bergantung banget sama each person’s personality. Sama seperti di Indonesia, business, hospitality, and communication majors do massive amount of teamwork assignments dan pure science majors such as Physics, Biology, or Chemistry lebih banyak menekankan ke pemahaman teori. Atau mungkin kamu suka menghabiskan waktu melakukan banyak eksperimen di lab? If that is the case, biomedical engineering, electrical engineering, biochemistry, or food science might suit you well. Saya rasa faktor ini juga cukup penting, karena semakin tinggi level kelas yang harus diambil nantinya, semakin spesifik apa saja deliverables yang harus kamu selesaikan in order to pass the course. Kamu bakal banyak encounter projects, researches and group assignments, which means you’ll spend most time either working alone or in groups.

– Apa pelajaran favoritmu di SMA?
This is definitely the easiest parameter for everyone. Nah, mungkin disini waktunya buat saya untuk share soal breaking the stereotype. Mungkin banyak dari kita yang berpikir kalau SMA-nya masuk jurusan IPA, waktu kuliah harus ambil jurusan yang berbau IPA, and IPS-wise. Dulu saya termasuk dalam orang-orang yang percaya ke kategori ini. That is not a rule! Realitanya, banyak kok mereka-mereka yang memilih jurusan yang sama sekali berbeda dengan apa yang mereka pelajari pas SMA. IPA people doing business majors are a classic example. Bahkan, sepupu saya dulunya merupakan lulusan Jurnalistik ketika ia selesai dengan undergraduate studiesnya. Guess what she did for her masters? Ahli anestesi. Terdengar ajaib ya. She gave me a real life example that as long you have the determination to do whatever you want, nothing is impossible. Jadi, jangan memandang IPA-IPS sebagai ‘patokan harga mati’ yang nantinya membatasi pilihan jurusan kamu. Still, it is a good question to help you decide.

– What does your dream job look like?
Tentunya semua orang punya ekspektasi ideal tentang dream jobnya. Nah, impian kamu ini bisa kamu jadikan sebagai motivasi dalam memilih jurusan. Isn’t it fun when you do things that might lead you to achieve your dream?

Talent

Coba kamu nilai dirimu sendiri dalam hal performance dan prestasi di sekolah. As you might have known, college level courses will give you lots of assignments and readings due, jadi pastinya kamu juga harus lebih bisa me-manage waktu dan kemampuan kamu supaya nggak ada tugas yang keteteran. Try asking yourself, hal apa aja yang udah kamu berhasil lakukan di sekolah, baik itu dari sisi akademis maupun non-akademis seperti OSIS, jadi event organizer untuk sports competition, ketua dari fund raising project, atau misalnya pernah menjabat jadi ketua klub di sekolah kamu. Penghargaan apa yang pernah kamu raih, dan di bidang apa? Apa kamu merasa kamu lebih baik dalam mengerjakan suatu bidang, seperti misalnya mendesain eksperimen, solve numerical problems, mendesain softwares and applications, meliput berita, membangun small businesses, atau communicating with other people? Selain itu, kebiasaan kamu belajar juga boleh jadi bahan pertimbangan. Apa kamu tipe yang lebih suka keluar dan berkomunikasi dengan orang lain atau sanggup duduk berjam-jam dan menyelesaikan assignments sendiri? Biarpun kesannya hal-hal ini kurang ada kaitan dengan memilih jurusan, sebenarnya menurut saya ini juga lumayan penting. It is undeniable that people in general will perform better in a specific field if they have a talent in it (with a dash of motivation and passion, of course.)

Motivation

In my perspective, motivation is one of the driving forces of life. Sulit rasanya buat saya kalau disuruh membayangkan kuliah tanpa motivasi, tanpa tujuan, tanpa arah yang jelas setelah lulus kita mau apa. Selama ini saya sempet ketemu beberapa teman disini yang hampir setiap hari mengeluh mereka udah nggak punya motivasi lagi untuk kuliah. Alasannya sederhana: mereka merasa salah pilih jurusan. You will not ever, ever want that to happen. Ketika kamu berhasil membuat beberapa nominasi jurusan yang kamu minati, coba kamu bertanya pada diri sendiri: apa yang memotivasi kamu untuk memilih jurusan itu? Apakah pilihan kamu murni didasari oleh minat, bakat, dan personal values kamu? Atau kamu memilih jurusan itu hanya semata-mata tekanan dari orang tua atau teman-teman sekitar? Tentunya kamu pasti pernah mendengar orang-orang yang akhirnya end up di jurusan yang kurang mereka sukai, hanya karena sebagian besar teman-teman dekatnya memutuskan mau mendalami jurusan itu.

Second, kadang-kadang alasan kita memilih satu jurusan itu is simply based on public opinion that this major you’re considering is the “right” thing to do. Menanggapi pemikiran ini, mungkin saya akan counter dengan jawaban, “apa yang menurut sebagian besar orang benar, belum tentu itu pas dengan apa yang sebenarnya saya mau dan butuh, kan?” it all goes back to knowing yourself better. One thing to keep in mind though, motivasi menurut saya adalah salah satu faktor terpenting yang harus kamu pikirkan. Kamu harus yakin dan bisa pastikan bahwa motivasi itu bakal tetap menyala selama kamu melewati empat tahun menggeluti bidang tersebut.

Personal Values

Now let’s think about some values and principles that are guiding your life and orchestrates the way you see the world. Disini, mungkin konsep yang mau saya share bakal lebih gampang kalau langsung digambarkan dengan contoh. For example, take Environmental Science. Buat saya, contoh ini menarik karena bidang ini adalah salah satu bidang yang banyak menggabungkan ilmu eksakta dan moral values dalam analisisnya. When we were discussing on issues of development, the concept of urbanization came up. In order for an urban area to expand and grow, some lands and trees need to be sacrificed so buildings can be constructed. Jika kamu diberi dua pilihan antara menghilangkan daerah hijau supaya pembangunan bisa terus maju atau mempertahankan lahan alami tersebut, mana yang akan kamu pilih? Bagi sebagian orang, mungkin bagi mereka urbanisasi lebih penting, dan mereka ngga keberatan kalau pohon-pohon ditebang semua. Akan tetapi, ada pihak yang lebih mementingkan adanya lahan hijau. Believe it or not, personal values juga punya peranan penting ketika kamu nanti terjun ke suatu jurusan. Apa yang menurut kamu adalah benar, bisa jadi sebaliknya di beberapa jurusan. Tentunya bakal sulit bagi kita untuk menjalani suatu jurusan yang nilai-nilainya kurang sesuai dengan personality  & personal values kita. Try to make your personal values match with the requirements and outcomes of your potential major (and future career as well.)

Future Expectations (& Realities)

Buat saya, mencari keseimbangan di faktor ini yang paling sulit. And this is simply because it is often when we found a balance between motivation, talent, and passion, reality tends to move in an opposite direction. I have three classic examples for this. Pertama, ada dari kita yang sangat tertarik sama suatu major, tapi dia sadar bahwa kemampuannya kurang cocok untuk mendalami bidang itu. Kedua, ada lagi orang-orang yang sebenarnya punya kemampuan yg cukup di suatu bidang, tapi mereka nggak begitu tertarik untuk ambil major tersebut.  Dan yang ketiga, ada kasus dimana seseorang punya kemampuan dan minat, tapi mereka tahu bahwa kesempatan untuk berkarir di bidang ini (and earn sufficient amount of money) sangat tipis, khususnya di Indonesia setelah ia pulang dari Amerika. To be honest, this is still a puzzle I’m trying to solve. Buat yang satu ini, mungkin bahan pertimbangan terbaik adalah bagaimana kamu membayangkan masa depanmu sendiri. Apa kamu akan kembali ke Indonesia setelah kamu lulus, atau kamu berencana stay di Amerika, atau kamu ingin menempuh karir di negara lain? Setiap negara biasanya punya employment chance and preferences yang cukup spesifik.  Oleh karena itu, apa rencana kamu di masa depan bisa dijadikan hal penyeimbang dengan keputusan kamu terhadap a certain major.

2. I've made my decision! (…or maybe not.) What can I do next?

Kalau kamu akhirnya berhasil come up with one major or two of your choice, hal termudah pertama yang bisa kamu lakukan adalah browse universities atau colleges yang bisa mengakomodasi pilihan kamu. Google-ing for information is a good way to start, selain bertanya ke senior atau teman-teman yang tahu uni/college apa menyediakan jurusan apa. Biasanya ketika kamu apply, kamu akan punya opsi untuk segera menyatakan (declare) major kamu atau opsi undecided (belum memutuskan). Bagi saya, gunakan opsi yang kedua hanya jika kamu benar-benar have no idea of what to do.

Sebenarnya ada keuntungan kalau kamu sampai akhirnya memilih undecided. Positifnya, kamu diberi kebebasan selama 2 tahun pertama untuk mengeksplor berbagai macam pelajaran yang nantinya akan masuk sebagai elective requirements kamu (saya yakin pasti nanti bakal ada contributor lain yang membahas sistem grading & course requirements di Amerika). Negatifnya, terkadang kebebasan yang kamu pegang ini bisa jadi temptation untuk hilang fokus dan akhirnya sulit saat kamu harus menentukan jurusan. Biarpun kebanyakan “pelajaran resmi” dari jurusan kamu kebanyakan dimulai dari akhir tahun kedua, hampir semua jurusan pasti mewajibkan kamu mengambil semacam introductory course sebelum kamu enroll ke mata kuliah yang levelnya lebih tinggi. Kalau kamu mengambil bermacam-macam elective tanpa framework yang jelas, hal yang paling ditakutkan adalah pada saat nantinya kamu harus menentukan jurusan, bakal sulit bagi kamu karena banyak pelajaran wajib yang seharusnya kamu ambil, tapi belum kamu pelajari. Which means you will eventually spend more semesters catching up mandatory courses, and that indirectly translates to more money spent, and more time spent.

It is still possible for you to change majors before you hit junior (third) year, tapi menurut saya ada baiknya kamu tidak sampai harus mengambil keputusan seperti itu. Di awal artikel ini, I admitted that I indeed switched my major on the second semester, dari Biochemistry ke Finance dan Operations & Technology Management. Konsekuensi yang harus saya terima adalah semua Biology & Chemistry courses yang dulunya merupakan required courses untuk Biochem major, dialihkan menjadi elective requirements untuk Business major. Secara hitungan minimum credits, sebenarnya saya ngga dirugikan sama sekali karena ngga ada satu courses pun yang mubazir. Tapi, saya harus mengambil beberapa required introductory courses supaya saya bisa pindah ke School of Management dan ambil higher level business courses. As a result, saya tertinggal satu semester dari rekan-rekan saya yang sudah mantap memilih business majors sejak semester pertama mereka.

Deciding your major is easy if you set a specific goal and you’re willing to make it happen. Find that perfect balance between passion, motivation, talent, personal values, & future expectations. You’re the only one who knows you best. Pick the right major, love it with all your will, and enjoy your fours years of college experience!
 
I’m absolutely open to comments and questions. Kalau kamu punya kritik apapun atau pertanyaan soal memilih jurusan, silahkan jot something down on the comment box! I’ll try my best to help and improve on my future articles. Semoga artikel ini berguna buat siapapun yang udah meluangkan waktu buat membacanya. Thanks, and until next time! – Alicia (
http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/27/10204423)

readmore »»  

UN: Antara Mendikbud Vs DPR


Rapat kerja Komisi X DPR dengan  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh beserta jajarannya yang berlangsung, Jumat kemarin sejak pukul 14.30 WIB hingga pukul 00.30 berlangsung alot saat penyusunan kesimpulan hasil rapat kerja.

Pembahasan untuk bagian kesimpulan saja menghabiskan waktu satu jam dengan 10 menit rehat. Seusai rehat pun masih terjadi perdebatan dan perbedaan pendapat. Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak sependapat dengan satu poin pada kesimpulan.

Berikut kesimpulan lengkap hasil rapat kerja khusus tentang ujian nasional (UN):

I. Sikap Komisi X dan Kemdikbud terhadap pelaksanaan UN tingkat SMA dan sederajat:
1. Menyesalkan pelaksanaan UN tingkat SMA dan sederajat tahun 2013 yang tidak dilaksanakan secara serentak di seluruh daerah sehingga berpotensi melahirkan ketidakadilan dan memberikan dampak psikologis terhadap peserta ujian dan implikasi anggaran.
2. Hasil UN SMA dan sederajat tahun 2013 yang akan dijadikan sebagai syarat kelulusan dan persyaratan masuk PTN perlu dipertimbangkan kembali dengan kajian mendalam.
Terhadap poin kedua tersebut, F-PKS dan F-PPP memberi catatan. PKS berpendapat bahwa hasil UN SMA dan sederajat tahun 2013 tidak dapat dijadikan syarat kelulusan dan persyaratan masuk PTN. Sedangkan PPP berpendapat masih memerlukan waktu untuk mengambil keputusan karena UN tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

II. Komisi X DPR RI mendesak Mendikbud RI untuk:
1. Melakukan evaluasi secara menyeluruh dan mengambil langkah tegas terhadap pengambil kebijakan, pelaksana, dan pengawasan pengadaan dan distribusi naskah UN 2013.
2. Segera menyelesaikan investigasi proses pelaksanaan pengadaan naskah UN tahun 2013 dan menyerahkan hasil investigasi tersebut secara resmi kepada Komisi X.
3. Menyampaikan laporan pelaksanaan dan evaluasi UN tahun 2013 setiap jenjang pendidikan secara komprehensif, paling lambat satu bulan setelah seluruh pelaksanaan UN tahun 2013 selesai.

III. F-PKS meminta ada audit investigasi dari Badan Pemeriksa Keuangan III. Komisi X mendesak Mendikbud untuk meninjau kembali Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, utamanya terkait dengan tugas, wewenang, dan peran Badan Standar Nasional Pendidikan dalam menyelenggarakan UN.

IV. Dalam rangka pengawasan, evaluasi pelaksanaan UN th 2013, dan landasan pengambilan kebijakan UN tahun 2014, Komisi X dan Kemdikbud sepakat membentuk Panitia Kerja Evaluasi Pelaksanaan UN Tahun 2013. (http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/27/1209384)

readmore »»  

Minggu, 21 April 2013

Ketika Nilai Rapor untuk SNMPTN



Gede Putra AdnyanaMantapnya keputusan pemerintah menjadikan nilai rapor siswa SMA/SMK sebagai salah satu elemen seleksi penerimaan masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) 2013 patut diapresiasi. Ini membuktikan ada kepercayaan pemerintah, khususnya perguruan tinggi terhadap kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar pada jenjang pendidikan menengah. Namun, apakah pemerintah sudah mempertimbangkan dampak ikutan terhadap pemberlakuan kebijakan ini? Karena nilai rapor disinyalir relatif sering dan mudah dimanipulasi. Beberapa fakta yang mengemuka diantaranya, adanya pengguguran penerima bidikmisi, akibat nilai rapor yang dikirim secara online tidak sesuai dengan nilai rapor aslinya.  Bahkan, untuk tahun 2013 banyak SMA di sejumlah daerah masuk daftar hitam perguruan tinggi. Sekolah-sekolah tersebut dinilai telah memalsukan data. Fakta-fakta ini diduga merupakan fenomena gunung es yang patut diwaspadai.

Harus diakui bahwa kualitas sekolah sangat beragam. Sekolah di perkotaan cenderung kualitasnya lebih baik tinimbang di pedesaan. Umur sekolah yang lebih tua juga cenderung mempunyai kualitas lebih baik daripada sekolah berumur muda. Pendek kata, sekolah memiliki kualitas yang berbeda ditinjau dari 8 standar nasional pendidikan (SNP). Ke-8 SNP tersebut, yaitu standar isi, kompetensi lulusan, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Perbedaan pada kualitas SNP dipastikan menyebabkan perbedaan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, tidak masuk akal dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, manakala menyamakan kualitas nilai rapor siswa pada kualitas sekolah yang berbeda.

Perbedaan kualitas sekolah juga jelas terlihat dari animo siswa. Siswa dengan tingkat kemampuan tinggi dipastikan akan memilih sekolah favorit yang cenderung berada di perkotaan.  Penjaringan siswa dilakukan melalui jalur prestasi akademik, sehingga efektif menjaring siswa yang potensial.  Di lain pihak, sekolah di pedesaan atau yang berumur muda hanya memperoleh sisa-sisa yang harus diterima dalam kerangka menyukseskan rencana wajib belajar 12 tahun. Dengan kata lain, sekolah tersebut sudah jatuh tertimpa tangga pula. Artinya, kualitas SNP sudah pas-pasan, ditambah lagi siswa yang diterima juga pas-pasan. Akibatnya, siswa dan guru teramat sulit untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajarnya. Jika kualitas masukannya saja sudah amat berbeda, maka dapat dipastikan proses dan hasil belajarnya pun akan berbeda kualitasnya. Lalu, apakah realistis, logis, dan relevan membandingkan dan bahkan menyamakan kualitas nilai rapor siswa pada sekolah yang nyata-nyata berbeda kualitas. Adalah kesalahan besar dan menyuburkan  ketidakadilan, tatkala menyamakan sesuatu yang berbeda.

Dalam konteks ini, jika nilai rapor dijadikan sebagai salah satu elemen SNMPTN maka ada kecenderungan komponen kualitas, objektivitas, kejujuran, dan bahkan keadilan akan terzalimi. Ke depan satuan pendidikan tidak mau dan bahkan tidak berani memberikan nilai rendah pada rapor siswa. Dengan berbagai alasan dan daya upaya, guru bersama semua komponen sekolah akan memasang strategi untuk memberikan nilai tinggi dalam rapor siswa. Walaupun tindakan itu disadari menghancurkan idealisme dan mengingkari hati nurani profesi guru. Muncullah fenomena mengangkat nilai rapor secara massal. Lama kelamaan fenomena dan tindakan ini menjadi kebiasaan, sesuai denga hukum alam ala bisa karena biasa. Dampak berikutnya, siswa yang berhak diterima melalui jalur SNMPTN, tidak dapat mengambil haknya, karena diserobot oleh siswa lain yang tidak berhak. Ketika hak dan kewajiban tidak dihadirkan dengan kejujuran dan keadilan, maka penzaliman itu telah mewujud nyata.

Penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang memberikan kewenangan kepada sekolah untuk menetapkan kriteria ketuntasan minimal  (KKM) juga menjadi bagian yang terkena dampak, baik langsung maupun tidak langsung. Sangat mungkin sekolah-sekolah akan memasang KKM yang tinggi. Hal ini terjadi, karena belum adanya aturan yang mengaturnya, hanya keberanian dan demi kepentingan siswa menjadi landasan. Penetapan KKM yang tinggi semata-mata agar nilai rapor siswa dapat bersaing dengan nilai rapor siswa pada sekolah lainnya. Sekali lagi, agar dapat bersaing untuk merebut kursi di perguruan tinggi negeri. Akhirnya, mucullah fenomena penetapan KKM yang tinggi dengan mengabaikan faktor intake, daya dukung, dan kompleksitas. Kondisi ini memaksa para guru dan siswa mencapai nilai KKM.  Berbagai tindakan dilakukan, antara lain memberikan pembelajaran tambahan, tugas di rumah, remidial berkali-kali, menurunkan tingkat kesulitan soal, memberikan soal yang sama, dan akhirnya terpaksa memberikan nilai sebesar KKM karena semua upaya telah dilakukan tetapi nilai siswa belum juga mencapai KKM. Kondisi ini mengakibatkan guru dengan sadar telah mengingkari 9 prinsip penilaian, yaitu sahih, objektif, adil, terpadu, terbuka, menyeluruh dan berkesinambungan, sistematis, beracuan kriteria dan akuntabel. Akibatnya, tidak jarang nilai-nilai yang tertulis pada rapor siswa sangat fantastic dan tidak sesuai dengan kompetensi siswa yang sesungguhnya.

Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi, tidak menutup kemungkinan rekayasa atau markup nilai rapor siswa secara massal akan menjadi kebiasaan buruk di dunia pendidikan. Kebiasaan buruk atas nama membantu kepentingan siswa agar dapat menembus perguruan tinggi negeri. Proses pembelajaran dan hasil belajar siswa banyak dipenuhi kepura-puraan. Semua dilakukan atas nama kepentingan siswa. Sehingga, siswa, guru, pegawai, orang tua siswa, bahkan masyarakat ikut larut di dalamnya. Sekali lagi, demi kepentingan dan masa depan siswa. Akibatnya, hancurlah idealisme, sikap kritis, kreatif, dan inovatif di kalangan siswa dan guru.

Kewenangan satuan pendidikan untuk menetapkan KKM sesuai KTSP seakan menjadi pembenar atas fenomena tersebut. Kondisi Ini sangat berbahaya dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Oleh karena itu harus ada upaya antispasi dari semua komponen pendidikan untuk memperkecil dan bahkan menghilangkan dampak negatif tersebut. Dalam hal ini pemerintah menjadi ujung tombak sebagai pengambil keputusan di bidang pendidikan. Paling tidak, hendaknya dihadirkan peraturan yang mampu menjawab permasalahan tersebut demi pendidikan di masa datang. Peraturan yang menjadi payung hukum bagi guru untuk tidak takut bertindak dan berani bertanggung jawab dalam mengimplementasikan keprofesionalannya sebagai guru demi mencerdaskan kehidupan bangsa. (Penulis: Gede Putra Adnyana, Guru SMAN 2 Busungbiu, Buleleng, Bali. Sumber: http://www.imobeducare.com/story/gede-putra-adnyana-1)
readmore »»  

UN Dihapus, Sekolah Berkualitas Rendah Bakal Rugi?



Kacaunya Ujian Nasional (UN) pada tahun ini makin menguatkan tuntutan berbagai pihak untuk meniadakan ujian tahunan yang dijadikan salah satu syarat kelulusan ini. Namun adanya tuntutan tersebut dinilai tidak tepat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Anggota BSNP, Teuku Ramli Zakaria, mengatakan bahwa penghapusan UN justru akan merugikan sekolah yang belum baik dan umumnya berada di daerah yang kurang baik pula. Selain itu, justru akan membuat kondisi pendidikan di Indonesia tidak merata.
"Yang rugi sekolah yang belum baik dan daerah belum baik. Karena nanti tidak ketauan sehingga rugi dan bantuan yang harus diprioritaskan bagi sekolah tersebut tidak tersampaikan. Akibatnya anak bangsa yang dapat pendidikan bermutu tidak akan merata di Indonesia," kata Ramli saat diskusi polemik tentang Kisruh UN di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (20/4/2013).
Dia mengatakan penghapusan UN akan meniadakan standar nasional dalam kompetensi pendidikan. Akibatnya, sekolah dengan mudah memberikan kelulusan kepada siswa.
"Untuk lulus satuan pendidikan itu harus memenuhi standar tertentu. Nah itu harus ditentukan dan tidak perlu tinggi. Jadi namanya kompetensi minimal. Kalau tanpa kompetensi minimal, sekolah akan meluluskan 100 persen siswanya dan pendidikan menjadi semu," 
Dalam sejarah pendidikan Indonesia, lanjutnya, ujian semacam UN dibutuhkan agar pendidikan Indonesia memiliki standar nasional yang dijadikan acuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Standar dibutuhkan untuk mengukur kompetensi anak sehingga dapat diputuskan melanjutkan pendidikan ke tingkat pendidikan tertentu atau tidak. 
"Jadi kalau dihapus kita tidak punya standar nasional. Karena variasi daerah beragam di Indonesia harusnya ada standar nasional," tandasnya. (http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/22/07425548)


readmore »»  

UN Sebaiknya Dihapus


Mantan Rektor UIN Bandung Prof Nanat Fatah Natsir, mengatakan, ujian nasional (UN) sebaiknya dihapus, dan penentuan kelulusan siswa diserahkan kepada sekolah, karena guru dan sekolah yang paling memahami kemampuan akademik siswa.

"Biarkan sekolah dan guru yang membuat soal dan menguji siswa. Pemerintah cukup membuat standar dan kisi-kisi soal UN untuk menjamin kualitas UN di seluruh Indonesia sama," kata Nanat Fatah Natsir di Jakarta, Senin (22/4/2013).

Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu mengatakan, pemerintah juga harus meningkatkan kualitas guru. Sebuah penelitian menyatakan, 62 persen kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas guru, baru kemudian kurikulum dan sarana prasarana.

Karena itu, kata Nanat, pemerintah perlu memberi kepercayaan kepada guru dan kepala sekolah, untuk menentukan kelulusan siswa berdasarkan pedoman yang sudah disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Sistem UN saat ini menunjukkan seolah-olah pemerintah tidak percaya dengan kepala sekolah dan guru. Mengapa tidak bisa seperti di perguruan tinggi, ketika kelulusan mahasiswa ditentukan dosen penguji dan ditetapkan rektor," tuturnya.

Menurut Nanat, kondisi pelaksanaan UN yang berantakan beberapa waktu lalu menunjukkan sistem yang diberlakukan saat ini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Orangtua dan siswa justru menjadi korban sistem yang berantakan tersebut.

"Sistem UN saat ini juga mendorong ketidakjujuran, baik yang dilakukan siswa maupun guru. Demi mengejar kelulusan 100 persen, sekolah dan siswa melakukan segala cara dalam menempuh UN," ujarnya.

Pelaksanaan UN tingkat SMA di 11 provinsi tertunda, karena lambatnya pengiriman soal ke daerah tersebut. Beberapa pihak menduga keterlambatan dan permasalahan yang baru pertama kali terjadi itu, disebabkan kebijakan Kemdikbud yang membuat 20 tipe soal.

Mendikbud Mohammad Nuh kemudian memutuskan UN susulan di 11 provinsi tersebut, pengadaan naskah soalnya dengan cara memfoto kopi. (http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/22/08335860)

readmore »»  

Dua Pelajar Indonesia Raih Emas di ICYS 2013


Dua "ilmuwan muda" Indonesia, Mariska Grace dan Melody Grace Natalie, menyabet masing-masing satu medali emas dalam ajang International Conference of Youth Scientist (ICYS) di Sanur, Denpasar, Sabtu (20/4/2013) malam. Selain dua emas, Indonesia juga meraih satu medali perak melalui M Arifin Dobson, serta dua medali perunggu oleh Avip N Yulian dan Putu Handre K Utama. 

Mariska Grace yang berasal dari SMAK Cita Hati menjadi yang terbaik dalam kategori Enviromental Science dengan karya ilmiahnya berjudul a Novel Approach in Using Peanut Shells to Elliminate Content in Water. Dalam karya ilmiahnya ini, Mariska memanfaatkan kulit kacang untuk mengurangi kadar ion tembaga di dalam air. 

Sementara Melody Grace Natalie, siswa Stella Duce I Yogyakarta yang bertarung dalam bidang Life Science berhasil memukau juri dalam presentasi karya ilmiahnya berjudul Potencial of Squid Eye Lenses as UV Absorber. Melody memanfaatkan mata cumi untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet.

"Saya membuat sunblock yang bisa dibuat simpel oleh nelayan sehingga nelayan bisa terhindar dari kanker kulit," ujar Melody Grace, menjelaskan hasil penelitiannya. 

Sementara President of Local Orgaizing Comitte ICYS 2013 Monika Raharti, yang sebelumnya menargetkan sapu bersih emas, tetap bangga pada ilmuwan Indonesia meski hanya meraih dua emas. "Kita patut berbangga hati, persaingan tahun ini cukup berat, banyak presentasi karya ilmiah dari negara lain yang bagus," kata Monika. 

Saingan terberat dari Indonesia dalam ajang ini datang dari Polandia, Jerman, Rusia, dan sejumlah negara Eropa Timur lainnya. Setelah Indonesia sukses menjadi tuan rumah tahun ini, rencananya ICYS 2014 akan diselenggarakan di Ukraina. (http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/21/13391299)

readmore »»