Isu Ujian Nasional sampai saat ini tetap
menarik diperbincangkan karena menyangkut banyak pihak, mulai dari siswa, guru,
orang tua, sekolah, dan pemerintah daerah. Hal yang sama juga terjadi pada UN
tahun 2015 yang akan digelar pada bulan April 2015. Namun, ada yang berbeda
pada penyelenggaraan UN tahun 2015 yang tidak lagi menjadi penentu kelulusan
siswa. Benarkah?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Anies Baswedan mengatakan, ada perubahan konsep UN tahun 2015. Di
mana, UN tidak lagi berfungsi sebagai penentu kelulusan. Hal ini dilakukan agar
dapat membawa perubahan perilaku positif bagi siswa, orang tua, guru, maupun
pemerintah daerah. Karena, ketika UN
digunakan sebagai penentu kelulusan, maka banyak intervensi yang dilakukan
guru, sekolah, maupun pemerintah daerah supaya nilai UN di sekolah atau
daerahnya tinggi. Untuk itulah Mendikbud mengeluarkan kebijakan menghapus UN
sebagai penentu kelulusan agar ada perubahan perilaku tersebut. Dengan demikian
kepala daerah tidak perlu mengumumkan berapa persen di daerahnya yang lulus UN.
Lebih lanjut, Mendikbud mengatakan UN 2015
tidak lagi digunakan sebagai penentu kelulusan, melainkan untuk pemetaan.
Pemetaan tersebut tidak hanya dapat digunakan oleh pemerintah pusat, melainkan
juga untuk siswa, guru, sekolah dan pemerintah daerah, untuk melihat di mana
posisi mereka secara nasional. (http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/3722)
Hasil Ujian Nasional (UN) 2015 berfungsi
untuk pemetaan dan syarat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dengan demikian hasil UN bukan untuk lulus atau tidak lulus, tetapi dalam
bentuk angka untuk refleksi dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini
untuk melihat posisi siswa, sekolah atau daerah, secara nasional. Jika hasil UN
tersebut menunjukkan siswa tidak memenuhi kompetensi nasional, maka siswa dapat
mengulang UN di tahun berikutnya. Artinya, siswa dapat mengulang UN di tahun
berikutnya, meski ia telah dinyatakan lulus sekolah. Ini adalah kesempatan bagi
siswa yang nilainya kurang, jadi bersifat opsional, dan tidak ada kewajiban
mengulang. (http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/3723).
Setitik Harapan
Kebijakan UN tidak lagi sebagai penentu
kelulusan adalah setitik hujan di tengah gurun pasir. Mengapa tidak?
Permasalahan pendidikan di Indonesia begitu kompleks, dan UN adalah salah satu
diantaranya. Walaupun demikian, titik hujan di gurun pasir ini diharapkan
menjadi pemicu dan pemacu tumbuh suburnya tunas-tunas bangsa yang jujur,
kompetitif, dan bertanggung jawab. Mengapa?
Tidak dapat dimungkiri, kebijakan UN sebagai
penentu kelulusan pada tahun-tahun sebelumnya, telah menyuburkan gejala
manipulasi, rekayasa, dan ketidakjujuran. Hasil UN adalah segalanya. Tidak
lulus UN berarti malapetaka. Akhirnya, semua komponen pendidikan mulai dari
siswa, guru, sekolah, orang tua, dan pemerintah daerah, bersepakat untuk
menyukseskan UN. Bahkan kesepakatan itu menjurus kearah konspirasi. Kondisi
inilah yang pada akhirnya melahirkan tindakan menghalalkan segala cara,
meskipun dengan cara-cara inkonstitusional. Muara dari segala itu adalah
hancurnya karakter Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan UN yang tidak
lagi menjadi penentu kelulusan siswa patut didukung oleh semua pihak.
Siswa harus yakin dengan kemampuan sendiri.
bahwa pendidikan tidak hanya terbatas pada perolehan hasil UN, tetapi
menyeluruh menyangkut sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Guru pun tidak perlu khawatir dengan hasil
UN. Sehingga pembelajaran yang selama ini berorientasi peningkatan pengetahuan
semata, harus ditinjau ulang. Guru jangan lagi ikut terlibat dalam berbagai
bentuk konspirasi jahat, tindakan jahat, tindakan melanggar hukum, bahkan
tindakan yang menyakiti hati nurani guru itu sendiri dengan dalih membantu
siswa agar lulus UN. Tetapi, guru hendaknya mulai melaksanakan tugasnya sebagai
pengajar, pelatih, pembimbing, dan pendidik untuk mengembangkan sikap, keterampilan,
dan pengetahuan secara seimbang.
Sekolah tidak perlu lagi ketakutan dengan
hasil UN yang jeblok. Adalah kurang bijaksana manakala sekolah membentuk tim
sukses UN. Apalagi, menyusun strategi yang melanggar hukum demi suksesnya hasil
UN. Tetapi, segera melakukan upaya agar proses pengajaran, pelatihan,
pembimbingan, dan pendidikan baik akademis maupun non akademis berlangsung
seimbang dan menyeluruh.
Pemerintah daerah pun tak perlu lagi
memasang target dan menekan sekolah berkaitan dengan UN. Berikanlah otonomi
sekolah untuk berkembang sesuai dengan situasi, kondisi, dan kemampuannya.
Jangan ada paksaan terhadap target-target yang cenderung memberatkan sekolah.
Namun, pengawasan, bimbingan, dan bantuan hendaknya terus dilakukan secara
lebih bijaksana dengan pendekatan kekeluargaan, kebersamaan, dan penuh tanggung
jawab. Jika hal ini dapat dilakukan secara sinergis dan berkelanjutan, maka
sedikit demi sedikit, tapi pasti akan terjadi perubahan paradigma di kalangan
siswa, guru, orang tua, dan sekolah tentang tujuan pendidikan dan pembelajaran.
yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa agar tumbuh menjadi insan yang kompetitif
dan bertanggung jawab. Mungkinkah? Semoga! (gpa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda adalah Kebahagiaan Kami