MENUJU
HYBRID LEARNING MODELS PADA KURIKULUM
2013
Oleh:
Gede Putra Adnyana (putradnyana@gmail.com)
SMAN
2 Busungbiu, Buleleng, Bali
Perdebatan tentang
kurikulum 2013 luar biasa pada tataran elit, tetapi biasa-biasa saja di
kalangan pelaksana teknis, yakni guru dan siswa. Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa pembelajaran pada sekolah-sekolah pelaksana kurikulum 2013 masih
cenderung berpusat pada guru, satu arah, siswa pasif, tidak kontekstual,
individualistik, miskin media, sedikit sumber belajar, dan kurang memanfaatkan
teknologi informasi. Artinya, pesan-pesan kurikulum 2013 belum dapat terbaca, dimengerti,
dan dipahami secara utuh dan terang benderang oleh sebagian besar kalangan guru.
Pemerintah melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersikukuh mengimplementasikan dan sangat
meyakini “kesaktian” kurikulum 2013. Konsekuensi logis dari hal itu, guru dan pihak berkepentingan
lainnya harus membaca, mengertikan, dan memahami kembali kurikulum 2013 dengan
cepat, tepat, dan utuh. Sebagai ujung tombak implementasi, guru harus bekerja
keras membongkar seluk beluk kurikulum 2013, terutama dari sisi praksis, yakni
kegiatan pembelajaran.
Pada hakikatnya,
kurikulum 2013 mengamanatkan prinsip pembelajaran siswa aktif (student centered). Siswa dibimbing untuk
melakukan kegiatan mengamati, menanya, menganalisis, dan mengkomunikasikan. Oleh
karena itu, guru wajib berkreativitas dengan memanfaatkan berbagai sumber
belajar, teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pembelajaran.
Kreativitas para guru yang
berorientasi pembelajaran siswa aktif, meniscayakan penggunaan waktu belajar
lebih banyak. Pembelajaran tidak cukup berlangsung di sekolah dan di dalam
kelas, yang bersifat formal dan memenjarakan. Dalam konteks ini, perlu tambahan
alokasi waktu belajar siswa yang dapat berlangsung di rumah dan/atau di
masyarakat, baik secara mandiri maupun kelompok. Artinya, pembelajaran dapat
berlangsung dalam bentuk tatap muka dan tanpa tatap muka. Salah satu pembelajaran
tanpa tatap muka adalah pembelajaran online.
Gabungan pembelajaran tatap muka dan online
ini, selanjutnya disebut dengan Hybrid
Learning Models.
Beberapa institusi,
terutama pada jenjang pendidikan tinggi telah mengimplementasikan Hybrid Learning Models. University of
Washington, Bothell, misalnya, telah menerapkan Hybrid Learning Models dengan mengalokasikan waktu belajar secara
online sebesar 25% sampai 50% dari waktu tatap muka di kelas. Hybrid Learning Models pada hakikatnya menawarkan
gabungan dari berbagai model, metode, sarana, sumber, dan media pembelajaran.
Situasi dan kondisi ini sejalan dengan tuntutan perubahan dalam kurikulum 2013.
Implementasi Hybrid Learning Models meniscayakan variasi model, metode, sarana,
sumber, dan media pembelajaran. Hal ini relevan dengan tingkat perkembangan
psikologi siswa yang cenderung menyukai dan ingin mengetahui hal-hal baru.
Mereka suka bereksperimen dan mengeksplorasi berbagai fenomena yang ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini diayakini dapat memacu lahirnya insan
yang produktif, kreatif, dan inovatif melalui penguatan sikap, keterampilan,
dan pengetahuan yang terintegrasi.
Web
Sekolah, Guru, dan Siswa
Dukungan seluruh stakeholders
pendidikan di sekolah merupakan kunci sukses implementasi Hybrid Learning Models pada kurikulum 2013. Dukungan seyogyanya menyentuh
langsung para guru dan siswa. Mereka diketuk hati nuraninya untuk memaksimalkan
kegiatan pembelajaran. Dalam konteks ini para guru dan siswa diajak
bersama-sama mengembangkan pembelajaran online.
Kepala sekolah sebagai educator, manager,
administrator, supervisor, leader, innovator, dan motivator (EMAS-LIM),
harus berada pada garda terdepan untuk memicu dan memacu implementasi Hybrid Learning Models.
Langkah awal yang dapat
dilakukan, yakni dengan membangun dan mengembangkan web sekolah, setidaknya
weblog. Web tersebut diharapkan berfungsi sebagai inisiator maupun stimulus
dalam kerangka merangsang melek teknologi di kalangan guru dan siswa. Semua
informasi tentang sekolah, guru, pegawai, siswa, materi pelajaran, kegiatan
sekolah, dan informasi yang relevan dengan dunia pendidikan dapat diakses
melalui web sekolah. Kondisi ini merupakan awal yang mulia untuk memulai Hybrid Learning Models yang memanfaatkan
secara optimal berbagai model, media, dan sumber belajar. Dengan upaya
tersebut, sekolah telah berkontribusi positif kepada warga sekolah untuk
menumbuhkembangkan kompetensi dalam penerapan teknologi informasi dan
komunikasi ke dalam pembelajaran.
Selanjutnya, sekolah
mendorong guru-guru dan siswa mengoptimalkan implementasi Hybrid Learning Models dengan membuat web yang digunakan dalam
pembelajaran. Ketika para guru telah memiliki web sendiri, setidaknya weblog,
diyakini akan berpengaruh langsung terhadap peningkatan kompetensi pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi yang saat ini berkembang pesat. Hal ini
penting agar dapat menjawab enam pendorong utama teknologi pendidikan, yakni mobile learning, cloud computing,
collaborative learning, mentoring, hybrid learning, dan student centered. Kompetensi ini sejalan dengan tuntutan kurikulum
2013 agar mampu menghadapi tantangan eksternal, yakni kemajuan teknologi
informasi, konvergensi ilmu dan teknologi, serta pengaruh dan imbas teknosains.
Dengan pengembangan dan
pemanfaatan web, guru dapat mengoptimalkan waktu dan metode pembelajaran. Dalam
web guru, dimasukkan berbagai materi pelajaran, tugas-tugas siswa, petunjuk
praktik, media tanya jawab, dan penilaian belajar siswa. Artinya, kompetensi
guru untuk mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi dengan materi
pembelajaran dapat ditumbuh-kembangkan. Guru dapat memasukkan bahan ajar,
video, animasi, simulasi, dan lembar kerja siswa dalam webnya sehingga dapat
dieksplorasi atau diakses oleh siswa setiap saat. Secara sederhana, guru juga
dapat menggunakan kolom komentar sebagai media interaktif, berdiskusi, dan
bahkan menilai aktivitas siswa dalam memanfaatkan media belajar online. Fenomena ini diyakini mampu
meningkatkan minat, motivasi, dan waktu belajar siswa di luar belajar tatap
muka di dalam kelas.
Guru juga dapat
mengoptimalkan pemanfaatan email, misalnya membentuk group email untuk menjaga
privasi siswa. Karena, ada kalanya tugas pembelajaran bersifat tertutup untuk
menghindari duplikasi dan plagiasi tugas antarsiswa. Tugas-tugas ini dapat
dikirim dalam bentuk file atau folder ke alamat email guru mata pelajaran yang
telah ditentukan. Optimalisasi email ini meniscayakan guru dan siswa melek
teknologi komputer dan internet. Terwujudnya situasi dan kondisi tersebut, diyakini
dapat memaksimalkan waktu dan kesempatan belajar sehingga dapat
menumbuhkembangkan kompetensi siswa sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Para siswa juga dimotivasi
membuat dan mengembangkan webnya masing-masing. Web siswa tersebut dapat
dijadikan media untuk mengungkapkan pendapat atau jawaban terhadap tugas-tugas atau
isu-isu yang dikaji. Guru dapat memberikan penilaian terhadap kualitas web
siswa sebagai portofolio. Kondisi ini meniscayakan siswa untuk terus
memperbaiki dan menyempurnakan webnya, baik dari sisi desain, substansi, maupun
interaksi. Secara langsung maupun tidak langsung, siswa berkreativitas terhadap
berbagai tugas belajar yang dibebankan kepadanya. Dalam hal ini, siswa juga
dapat mengeksplorasi web siswa lainnya sehingga mampu membandingkan dengan
hasil karyanya. Kondisi ini akan membangun karakter siswa untuk menghargai
karya orang lain, bahkan menghargai perbedaan yang menjadi keniscayaan bangsa
Indonesia yang multikultural. Siswa didorong untuk terus melakukan refleksi
diri guna dapat berkarya lebih baik demi menghasilkan produk yang lebih baik
pula. Untuk menghindari duplikasi dan plagiasi, maka peran dan fungsi guru
sebagai fasilitator, mediator, dan evaluator harus dilaksanakan dengan jujur,
transparan, dan bertanggung jawab. Agar fenomena duplikasi dan plagiasi ini
dapat diminimalisir, perlu memberikan tugas yang berbeda pada setiap siswa
dalam konteks dan konten pembelajaran yang relevan. Oleh karena itu, perlu
dirancang jaringan antarguru dan antarsiswa sehingga dapat berinteraksi secara
maksimal. Dalam konteks inilah Hybrid
Learning Models mewujud nyata sebagai model pembelajaran andalan pada
kurikulum 2013.
Akhirnya, Hybrid Learning Models, diyakini sebagai
model pembelajaran yang relevan dalam implementasi kurikulum 2013. Pembelajaran
tatap muka dan online terlaksana
dengan efektif dan efisien, manakala jaringan web sekolah, guru, dan siswa
dapat dioptimalkan. Optimalisasi ini
berimplikasi terhadap peningkatan waktu belajar siswa serta menumbuhkembangkan
sikap kritis, inovatif, dan kreatif di kalangan guru dan siswa. Dengan Hybrid Learning Models pada kurikulum
2013, berbagai kompetensi yang menjadi tuntutan kurikulum 2013 dan tuntutan
masa depan dapat diwujudnyatakan, seperti, kemampuan berkomunikasi, berpikir
jernih dan kritis, toleran terhadap perbedaan, dan bertanggung jawab terhadap
lingkungan. (Penulis: Gede Putra Adnyana adalah guru pada SMAN 2 Busungbiu,
Buleleng, Bali)