SMAN 2 BUSUNGBIU, PUCAKSARI, BUSUNGBIU, BULELENG, BALI: MELAYANI DENGAN HATI DEMI PESERTA DIDIK YANG BERAKHLAK MULIA, BERPRESTASI DAN BERTANGGUNG JAWAB

Selasa, 20 Januari 2015

UN Tahun 2015 Tidak Menentukan Kelulusan

Isu Ujian Nasional sampai saat ini tetap menarik diperbincangkan karena menyangkut banyak pihak, mulai dari siswa, guru, orang tua, sekolah, dan pemerintah daerah. Hal yang sama juga terjadi pada UN tahun 2015 yang akan digelar pada bulan April 2015. Namun, ada yang berbeda pada penyelenggaraan UN tahun 2015 yang tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa. Benarkah?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengatakan, ada perubahan konsep UN tahun 2015. Di mana, UN tidak lagi berfungsi sebagai penentu kelulusan. Hal ini dilakukan agar dapat membawa perubahan perilaku positif bagi siswa, orang tua, guru, maupun pemerintah daerah. Karena, ketika UN digunakan sebagai penentu kelulusan, maka banyak intervensi yang dilakukan guru, sekolah, maupun pemerintah daerah supaya nilai UN di sekolah atau daerahnya tinggi. Untuk itulah Mendikbud mengeluarkan kebijakan menghapus UN sebagai penentu kelulusan agar ada perubahan perilaku tersebut. Dengan demikian kepala daerah tidak perlu mengumumkan berapa persen di daerahnya yang lulus UN.
Lebih lanjut, Mendikbud mengatakan UN 2015 tidak lagi digunakan sebagai penentu kelulusan, melainkan untuk pemetaan. Pemetaan tersebut tidak hanya dapat digunakan oleh pemerintah pusat, melainkan juga untuk siswa, guru, sekolah dan pemerintah daerah, untuk melihat di mana posisi mereka secara nasional. (http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/3722)
Hasil Ujian Nasional (UN) 2015 berfungsi untuk pemetaan dan syarat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan demikian hasil UN bukan untuk lulus atau tidak lulus, tetapi dalam bentuk angka untuk refleksi dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini untuk melihat posisi siswa, sekolah atau daerah, secara nasional. Jika hasil UN tersebut menunjukkan siswa tidak memenuhi kompetensi nasional, maka siswa dapat mengulang UN di tahun berikutnya. Artinya, siswa dapat mengulang UN di tahun berikutnya, meski ia telah dinyatakan lulus sekolah. Ini adalah kesempatan bagi siswa yang nilainya kurang, jadi bersifat opsional, dan tidak ada kewajiban mengulang. (http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/3723).
Setitik Harapan
Kebijakan UN tidak lagi sebagai penentu kelulusan adalah setitik hujan di tengah gurun pasir. Mengapa tidak? Permasalahan pendidikan di Indonesia begitu kompleks, dan UN adalah salah satu diantaranya. Walaupun demikian, titik hujan di gurun pasir ini diharapkan menjadi pemicu dan pemacu tumbuh suburnya tunas-tunas bangsa yang jujur, kompetitif, dan bertanggung jawab. Mengapa?
Tidak dapat dimungkiri, kebijakan UN sebagai penentu kelulusan pada tahun-tahun sebelumnya, telah menyuburkan gejala manipulasi, rekayasa, dan ketidakjujuran. Hasil UN adalah segalanya. Tidak lulus UN berarti malapetaka. Akhirnya, semua komponen pendidikan mulai dari siswa, guru, sekolah, orang tua, dan pemerintah daerah, bersepakat untuk menyukseskan UN. Bahkan kesepakatan itu menjurus kearah konspirasi. Kondisi inilah yang pada akhirnya melahirkan tindakan menghalalkan segala cara, meskipun dengan cara-cara inkonstitusional. Muara dari segala itu adalah hancurnya karakter Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan UN yang tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa patut didukung oleh semua pihak.
Siswa harus yakin dengan kemampuan sendiri. bahwa pendidikan tidak hanya terbatas pada perolehan hasil UN, tetapi menyeluruh menyangkut sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Guru pun tidak perlu khawatir dengan hasil UN. Sehingga pembelajaran yang selama ini berorientasi peningkatan pengetahuan semata, harus ditinjau ulang. Guru jangan lagi ikut terlibat dalam berbagai bentuk konspirasi jahat, tindakan jahat, tindakan melanggar hukum, bahkan tindakan yang menyakiti hati nurani guru itu sendiri dengan dalih membantu siswa agar lulus UN. Tetapi, guru hendaknya mulai melaksanakan tugasnya sebagai pengajar, pelatih, pembimbing, dan pendidik untuk mengembangkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan secara seimbang.
Sekolah tidak perlu lagi ketakutan dengan hasil UN yang jeblok. Adalah kurang bijaksana manakala sekolah membentuk tim sukses UN. Apalagi, menyusun strategi yang melanggar hukum demi suksesnya hasil UN. Tetapi, segera melakukan upaya agar proses pengajaran, pelatihan, pembimbingan, dan pendidikan baik akademis maupun non akademis berlangsung seimbang dan menyeluruh.

Pemerintah daerah pun tak perlu lagi memasang target dan menekan sekolah berkaitan dengan UN. Berikanlah otonomi sekolah untuk berkembang sesuai dengan situasi, kondisi, dan kemampuannya. Jangan ada paksaan terhadap target-target yang cenderung memberatkan sekolah. Namun, pengawasan, bimbingan, dan bantuan hendaknya terus dilakukan secara lebih bijaksana dengan pendekatan kekeluargaan, kebersamaan, dan penuh tanggung jawab. Jika hal ini dapat dilakukan secara sinergis dan berkelanjutan, maka sedikit demi sedikit, tapi pasti akan terjadi perubahan paradigma di kalangan siswa, guru, orang tua, dan sekolah tentang tujuan pendidikan dan pembelajaran. yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa agar tumbuh menjadi insan yang kompetitif dan bertanggung jawab. Mungkinkah? Semoga! (gpa)
readmore »»  

Rabu, 07 Januari 2015

Kurikulum Ganda: 2006 Vs 2013

Ketidaktegasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan telah melahirkan kurikulum ganda dalam sistem pendidikan nasional. Pengamat pendidikan Muhammad Abduhzen mengatakan, sebaiknya kurikulum ganda yakni Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006, pelaksanaannya tidak berlarut-larut. 

Ia mengatakan, seharusnya jangan ada sebutan Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006. "Pemerintah seharusnya membuat pedoman pembelajaran sementara, sembari merevisi Kurikulum 2013," kata Abduhzen, Senin, (5/1).

Pedoman pembelajaran itu, terang dia, bersifat kompilasi saja, dibuat simpel dan praktis. Sementara itu dilakukan penyempurnaan terhadap Kurikulum 2013. Pedoman pembelajaran itu, Abduhzen mengatakan, maksimal berlaku tiga sampai lima tahun saja pada masa transisi. Sebab menurutnya, revisi Kurikulum 2013 selama tiga sampai lima tahun itu sudah cukup.

Ia mengatakan, jika selama masa transisi tetap memakai dua kurikulum, agak sukar diterima dengan akal sehat. "Saya sudah menyampaikan ini kepada Pak Menteri, namun belum ada respons," ujarnya.

Abduhzen menilai Mendikbud tidak mau menyakiti siapa pun. Padahal dalam membuat kebijakan harus tegas dan jelas. Akibat kurangnya sikap tegas itu, maka dampaknya muncullah pemakaian dua kurikulum. Hal ini membuat sekolah-sekolah menjadi bingung.

Ia mengatakan, sekolah-sekolah di daerah banyak yang tidak mau mengganti kurikulum. Salah satu penyebabnya karena ada anggapan, sekolah yang menggunakan Kurikulum 2013 dianggap lebih maju. Sedangkan sekolah yang menggunakan Kurikulum 2006 dinilai kurang maju.

Sebanyak 6.000-an sekolah yang menggunakan Kurikulum 2013, ia menjelaskan, rata-rata bekas rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah unggulan lainnya. "Artinya pendidikan di daerah citranya maju dan baik jika memakai Kurikulum 2013. Akibatnya sekolah yang belum siap, jadi memaksakan diri menggunakan Kurikulum 2013. Ini tidak baik," katanya.

Sejumlah sekolah, baik di ibu kota negara maupun di daerah-daerah, kini menerapkan pelaksanaan kurikulum yang tidak seragam. Beberapa sekolah yang telah melaksanakan Kurikulum 2013 satu semester, kini kembali menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). 

Bahkan ada yang sudah menyatakan tetap menerapkannya hingga tahun ajaran baru 2015/2016. Namun, ada pula yang masih menggunakan Kurikulum 2013 saat ini, dan baru mulai kembali ke KTSP pada tahun ajaran baru mendatang. 



readmore »»