DALAM pemberitaan tentang tawuran
pelajar belakangan ini tergambar bahwa pemecahan masalah terhadap kejadian
tawuran itu didekati sebagai peristiwa `kejahatan' yang harus mendapat hukuman
yang setimpal sebagai upaya menegakkan hukum. Dalam hal ini, baik Menteri
Pendidikan maupun para pakar pendidikan cenderung menanggapi tawuran sama
dengan polisi menanggapi tawuran.
Polisi sebagaimana tugasnya
mengatasi masalah kriminal ialah dengan menginvestigasi, menggugat, dan
kemudian menyerahkan ke pengadilan. Sejalan dengan itu, Menteri Pendidikan dan
pakar pendidikan juga berpandangan agar pelaku ditindak tegas atas kesalahannya.
Sementara itu, anggota DPR menambahkan daftar yang dituntut untuk turut
bertanggung jawab, yaitu kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, dan guru.
Tampaknya, banyak pihak sudah lupa bahwa pendekatan keamanan dan pendekatan
pendidikan adalah dua hal yang berbeda.
Tugas polisi menurut UUD `45
Pasal 30 ayat 4 berbunyi `Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat
negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum'. Adapun, Pasal 1 ayat 1
UU Sisdiknas No 20 Tahun 2005 menya takan bahwa `Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik mengembangkan dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual ke
agamaan, penguasaan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia. dan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara'.
Dua kutipan pasal tersebut
menunjukkan bahwa pendekatan keamanan berbeda dengan pendekatan pendidikan.
Sayangnya, ketika menanggapi tawuran yang berurutan terjadi di Jakarta
akhir-akhir ini, Menteri Pendidikan malah berlaku sebagai polisi, ikut
menginterogasi pelaku di kantor polisi. DPR juga mengomentari bahwa yang salah
dalam peristiwa ini bukan hanya polisi atau intelijen, melainkan juga guru,
kepala sekolah, dan kepala dinas pendidikan yang tidak berbuat apa apa, bahkan
dipandang sama lalainya atau tidak pedulinya dengan intelijen kepolisian.
Sebagaimana dilaporkan oleh
Kompas (27 September 2012), Mendikbud ikut `berbincang' dengan pelaku di Kantor
Polres Jakarta Selatan dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Salah satu
pertanyaan dijawab oleh pelaku bahwa dirinya merasa puas telah membunuh korban.
Hal itu menimbulkan keterkejutan Pak Menteri sehingga beliau mengajukan pertanyaan
penegasan apakah memang hanya kepuasan yang dirasakan oleh pelaku. Lalu, pelaku
menambahkan bahwa dia juga menyesal. Pada kesempatan tersebut, Mendikbud
menyimpulkan bahwa sanksi hukum bagi anak-anak yang terlibat kriminal, termasuk
tawuran, harus ditegakkan.
Selanjutnya, Mendikbud
menyatakan, “Sekolah perlu dibantu karena menerima beban luar biasa tidak hanya
mendidik, tapi juga mengubah perilaku sosial siswa yang berat“. Bantuan seperti
apa? Mendikbud hanya menyatakan bahwa dirinya `sedang berupaya memikirkan
solusi untuk mengatasinya'.
Dari jawaban Mendikbud itu, kita
mendapat kesan bahwa skenario pemecahan masalah yang paling jelas hanyalah
dengan pendekatan keamanan. Adapun pendekatan pendidikan seolah-olah tidak
memiliki skenario yang jelas sehingga Mendikbud pun mengatakan baru akan
memikirkannya. Padahal, pengertian pendidikan menurut undang-undang di atas
telah memberi petunjuk umum bahwa peserta didik harus difasilitasi untuk
mengembangkan potensinya sendiri melalui suasana belajar dan proses
pembelajaran. Jadi, peserta didiklah yang harus memproses pemecahan masalah
melalui proses pembelajaran dan suasana pembelajaran yang difasilitasi oleh
pendidik/guru.
Skenario
Pemecahan Masalah
Agar peserta didik dapat
mengembangkan potensinya sendiri, PP 19 Tahun 2005 Pasal 19 tentang standar
proses telah mengatur sebagai berikut, `Proses pembelajaran pada satuan
pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan
ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan
bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik'.
Standar proses itulah yang
seharusnya menjadi skenario pemecahan masalah dari segi pendekatan pendidikan.
Jadi, biarkan polisi menyelesaikan masalah tawuran ini sesuai dengan
skenarionya dalam pendekatan keamanan. Adapun, bagi Mendikbud sendiri, jika
ingin membantu sekolah dalam memecahkan masalah itu, fasilitasilah sekolah
untuk dapat menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan skenario standar proses
ini. Proses tersebut mengutamakan perlunya ditumbuhkan dan dihormatinya
prakarsa murid sehingga timbul keyakinan dari peserta didik bahwa dia dipercaya
untuk memecahkan masalah.
Anak yang diberi kepercayaan oleh
orang-orang di sekitarnya (guru, orangtua, dan orang dewasa lain) akan merasa
berbahagia dalam berkembang. Kebahagiaan dalam belajar ini akan mendorong
mereka untuk mandiri dan percaya pada kemampuan dirinya karena mereka yakin
bahwa apa pun yang mereka prakarsai akan didukung oleh orang-orang penting di
sekitar mereka. Hal itu sejalan dengan prinsip reformasi pendidikan bahwa untuk
menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang
berbudaya, maka peserta didik perlu dibantu untuk bisa terintegrasi dengan
lingkungan sosial kulturalnya.
Untuk mencapai itu perlu
dilakukan proses penahapan aktualisasi intelektual, emosional, dan spiritual
peserta didik di dalam memahami sesuatu, mulai dari tahapan paling sederhana
dan bersifat eksternal sampai tahapan yang paling rumit dan bersifat internal,
yang berkenaan dengan pemahaman dirinya dan lingkungan kulturalnya.
Jadi, dasar skenario pemecahan
masalah dengan pendekatan pendidikan ialah (1) peserta didik harus menjadi
subjek yang dicintai sehingga menimbulkan rasa bahagia pada anak-anak, (2)
peserta didik harus menjadi subjek yang diberi kepercayaan sehingga menimbulkan
kemandirian pada anak, dan (3) peserta didik harus menjadi subjek yang diberi
kesempatan bekerja sendiri sehingga menimbulkan prakarsa dalam memecahkan
masalah sendiri dan bertanggung jawab.
Kalau saja guru diberi kesempatan
dan ditingkatkan kemampuannya untuk dapat melakukan tiga hal di atas dan kepala
sekolah, birokrasi pendidikan, Menteri Pendidikan, dan DPR dapat memahami
skenario di atas, maka kita tidak perlu lagi memikirkan solusi dengan
pendekatan keamanan, seperti membentuk satgas. Satgas tidak akan memecahkan
masalah, tetapi hanya akan menimbulkan masalah baru.
Pembentukan satgas yang
direncanakan pemerintah pada dasarnya bertentangan dengan wujud dari
pelaksanaan skenario di atas, yaitu pemberian kepercayaan kepada peserta didik
untuk menyelesaikan masalah tawuran itu sendiri dengan difasilitasi oleh guru.
Kini saatnya kita memberikan
kesempatan kepada para peserta didik menciptakan prakarsa untuk memecahkan
persoalan tersebut. Sebagai contoh, mereka dapat memprakarsai kegiatan diskusi,
penelitian, lomba debat, dan sebagainya yang diselenggarakan dari murid, oleh
murid, dan untuk murid.
Pembinaan
Kompetensi Guru
Dengan uraian tersebut, menjadi
jelas pula arah untuk membina kompetensi guru, yaitu kompetensi mencintai anak,
memercayai anak, dan memberi kesempatan kepada anak. Tiga kompetensi itu
menjadi senjata utama bagi reformasi pendidikan dengan mendahulukan proses
pembelajaran yang menciptakan manusia sebagai subjek yang berbudaya dan
memperbarui pandangan terhadap anak. Pesan-pesan dari atas harus selalu
mengandung tiga hal tersebut. Apabila diperlukan, satu lagi yang pokok ialah peserta
didik harus dikembangkan sebagai subjek yang berpikir logis, sistematis,
kritis, dan kreatif.
Apabila pesan-pesan yang diterima
oleh guru seperti itu, dengan sendirinya mereka dapat membedakan pendekatan
pendidikan dengan pendekatan keamanan. Pendidik tidak akan pernah ingin
menghukum dan tidak terlibat dengan proses menghukum yang dilakukan oleh
polisi. Itulah yang disebut dengan menghargai atau memahami hak asasi
anak-anak.
Pembinaan guru pun menjadi lebih
sederhana, yaitu pengembangan kompetensi mencintai (bukan menghukum),
kompetensi memberi kepercayaan (bukan menggurui), kompetensi memberi kesempatan
(bukan mematikan prakarsa). Hal itulah yang seharusnya juga disadari oleh para
kepala sekolah, birokrat pendidikan, dan Menteri Pendidikan.
Seharusnya tiga atau empat
skenario tersebut sudah dimulai sejak UU Sisdiknas yang baru diundangkan. Tapi,
kita tahu bahwa kebijakan pendidikan yang dijalankan oleh penanggung jawab
pengelola pendidikan (Mendikbud) sering kali mengandung pesan yang tidak
konsisten dengan skenario pendidikan menurut UU Sisdiknas No 20/2005.
Kebijakan yang dirumuskan di luar
undang-undang, seperti peraturan pemerintah dan permendiknas, masih mengandung
unsur-unsur yang dianggap tidak relevan dengan pembaruan. Permendiknas No 22
tentang Standar Isi, misalnya, masih berorientasi pada materi pendidikan atau
mata pelajaran.
Menurut Kepala Badan Litbang
Depdikbud pada 1999 dalam pengantar hasil penelitian potret kurikulum 1994,
kurikulum harus berorientasi pada basic competencies. Kurikulum 1994 yang
berorientasi pada materi pendidikan sudah harus ditinggalkan karena telah
terjadi perubahan fundamental dalam kurikulum setelah terjadi reformasi dalam
masyarakat Indonesia. Jadi, peristiwa tawuran yang sangat meresahkan kita semua
saat ini mudah-mudahan menjadi pengingat bagi kita untuk menghidupkan kembali
semangat reformasi pendidikan
Utomo
Dananjaya ;
Direktur
Institute for Education Reform Universitas Paramadina
MEDIA
INDONESIA, 01 Oktober 2012