SMAN 2 BUSUNGBIU, PUCAKSARI, BUSUNGBIU, BULELENG, BALI: MELAYANI DENGAN HATI DEMI PESERTA DIDIK YANG BERAKHLAK MULIA, BERPRESTASI DAN BERTANGGUNG JAWAB

Jumat, 26 Oktober 2012

3 Risiko Lembaga Negara Melobi Oknum DPR


Ada tiga risiko yang akan dihadapi lembaga negara jika melobi oknum DPR, demikian Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD memberikan analisis terhadap fenomena berbangsa dan bernegara. Pertama, oknum-oknumnya dapat dihukum dan diadili. Kedua, lembaga negara dan DPR akan tersandera oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Dan ketiga, eksekutif dan legislatif akan memuaskan nafsu sombong oknum yang dianggap penting. Hal itu berarti rakyat tidak diperhatikan dengan baik oleh Negara.

Sesungguhnya, pejabat lembaga Negara dan oknum DPR sangat memahami, bahwa tindakan yang merugikan keuangan Negara niscaya dituntut oleh Negara melalui tangan kepolisian, kejaksaan, maupun KPK. Proses pengelolaan keuangan Negara pada umumnya banyak dilakukan dan diputuskan dengan cara lobi. Akibatnya, muncullah penyimpangan yang menguntungkan oknum dan merugikan Negara. Lobi dilakukan, karena ingin mendapatkan lebih dari yang seharusnya diterima. Tapi apa mau dikata, terkadang tuntutan status yang ingin lebih tinggi dari kalangan pada umumnya memunculkan upaya untuk mencari celah. Kecenderungan untuk tampil lebih tinggi inilah yang menimbulkan nafsu angkara murka sehingga menjerat lehernya sendiri.

Fenomena pejabat lembaga negara melobi oknum DPR diyakini merusak sistem ketatanegaraan. Lobi akan menimbulkan tindakan yang menyalahi aturan. Lobi juga disinyalir menyebabkan upaya dengan sengaja menutupi kebocoran, kecurangan, dan kekeliruan yang sudah diketahui dan dilakukan. Jika semua tindakan destruktif yang kecil dibiarkan, sedikit demi sedikit tapi pasti akan menimbulkan tindakan destruktif yang lebih besar. Akibatnya, pengelolaan Negara keluar dari aturan hukum yang berlaku. Kondisi ini dipastikan menyebabkan Negara gagal.

Kebiasaan lobi menyuburkan kesombongan pejabat lembaga negara dan oknum DPR. Kesombongan karena memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melakukan perubahan. Kesombongan ini menyebabkan eksekutif dan legislatif sewenang-wenang menjalankan pemerintahan. Kong kali kong antara pelaksana pemerintahan dan pengawas dapat menyebabkan pengelolaan Negara menyimpang dari tujuan yang semula ditetapkan. Walupun itu melanggar aturan. Akhirnya kesombongan itu akan menjadi-jadi dan menghancurkan tatanan kehiduapn berbangsa dan bernegara. Pendek kata, fenomena melobi lebih banyak mudarat tinimbang manfaat. Oleh karena itu fenomena melobi harus dihapuskan dari muka bumi ini, karena tidak sesuai dengan peri kejujuran dan peri keadilan.

Dengan demikian, pengelolaan Negara hendaknya dilakukan dengan aturan yang telah ditetapkan. Sangat tidak elok jika eksekituf melobi legislatif. Apalagi sebaliknya, legislatif melobi pejabat lembaga Negara. Lobi-melobi harus dihentikan. Semua hendaknya dikembalikan kepada aturan main yang telah ditetapkan. Aturan pun hendaknya terukur, objektif, dan berkeadilan. Pejabat Negara harus menjadi contoh atau teladan. Sehingga, pejabat-pejabat di bawahnya dapat menjadikan contoh agar tidak melakukan lobi-lobi yang bertentangan dengan aturan. Karena, sesungguhnya lobi adalah tawar-menawar. Dan peristiwa tawar menawar hanya dibenarkan terjadi di pasar antara pembeli dengan penjual. Sedangkan Negara bukanlah pasar, sehingga sangat tidak dibenarkan mengadakan lobi. Apakah Bapak/Ibu/Saudara setuju?

readmore »»  

Sabtu, 13 Oktober 2012

Bobot Soal UN 2013 Ditingkatkan


Ujian Nasional (UN) sampai saat ini masih menjadi isu menarik untuk diperbincangkan. Karena, begitu banyak fenomena unik dan menggelitik terjadi bersamaan dengan digelarnya UN. Fenomena itu sebagian besar berupa upaya dari pihak-pihak terkait yang bermuara agar siswa dapat lulus 100%. Walaupun terkadang mengingkari hati nurani. Fenomena menarik itu sudah mulai muncul pada UN 2013, walaupun penyelenggaraannya masih beberapa bulan lagi.

Masih terngiang dalam ingatan, tentang perubahan UN 2013 yang bakal menerapkan 20 paket soal di setiap ruangan. Artinya, setiap siswa mendapatkan soal berbeda. Lalu, muncul wacana menyelenggarakan UN 2013 tanpa pengawas. Dasar pemikirannya, kehadiran pengawas membuat suasana kejiwaan siswa dalam mengerjakan soal tidak tenang. Sehingga, pengawasan cukup dilakukan dari jarak jauh. Dan, yang terkini muncul lagi wacana yang cukup menggerahkan hati suasana pihak-pihak yang berkepentingan dengan UN, terutama para siswa. Wacana itu adalah rencana meningkatkan standar kelulusan UN 2013 menjadi 6,0.

Peningkatan standar kelulusan UN dari 5,5 menjadi 6,0 memang merupakan upaya yang logis dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Fenomena ini merupakan tantangan tersendiri kepada stakeholders pendidikan. Tantangan pertama dan utama dihadapi oleh pihak sekolah dan terutama siswa, yaitu agar dapat menembus standar kelulusan itu. Pihak sekolah dan terutama siswa dituntut untuk meningkatkan persiapan diri lebih baik. Persiapan harus dilakukan sungguh-sungguh dan jauh dari unsur paksaan. Karena, terdapat sinyalemen bahwa saat ini telah terjadi degradasi motivasi belaja di kalangan siswa. Kondisi ini, memunculkan tantangan lain, yaitu upaya menyusun strategi jitu agar dapat lulus dalam UN. Terkadang strategi yang direncanakan tidak fair dan menghalalkan segala cara. Jika itu terjadi, maka fenomena ini sesungguhnya telah meracuni moral dan kepribadian peserta didik.

Namun, pihak kementerian Pendidikan dan Kebudayaan punya alternatif lain, yaitu standar nilainya tetap 5,5 tetapi derajat kesulitan soal ditingkatkan.  Pada tahun 2012 proporsi tingkat kesulitan soal adalah 10 persen mudah, 80 persen sedang, dan 10 persen sukar. Formulasi pada tahun 2013 kemungkinan menjadi 10 persen mudah, 70 persen sedang, dan 20 persen sukar. Walau proporsi ini belum final, tetapi patut diduga bahwa penyelenggaraan UN 2013 akan lebih memberatkan siswa. Karena, setiap perubahan niscaya memerlukan adaptasi. Dan adaptasi inilah yang akhirnya menimbulkan tindakan tidak fair dari kalangan yang ingin mendapatkan hasil memuaskan, tetapi dengan kerja yang tidak berat. Maklum itu adalah sifat manusia yang pragmatis dan opurtunis.

Untuk penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2013 nanti, ternyata pemerintah telah menetapkan bahwa batas nilai minimum kelulusan bagi para siswa ditargetkan tetap pada angka 5,5. Namun meski batas nilai minimum kelulusan tidak diubah, bobot soal rencananya yang akan diubah. Dalam hal ini tingkat kesulitan soal dinaikkan. Artinya, aka nada beban tambahan bagi siswa dan guru untuk meningkatkan kesiapan siswa menghadapi UN.

Apapun rencana pemerintah, maka semestinya stakeholders pendidikan harus menyatakan siap. Kesiapan hendaknya dipertanggungjawabkan dengan sungguh-sungguh. Guru sebagai garda terdepan sudah saatnya menunjukkan kemampuannya dalam membimbing dan melayani siswa demi kesuksesan. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah, terutama pemerintah daerah jangan mengghancurkan semangat para guru dengan melakukan penekanan-penekanan. Penekanan yang paling kentara adalah ancaman mutasi, akibat berbeda pendapat dan pilihan. Karena begitu isu mutasi mendera, maka suasana menjadi tidak nyaman dan kinerja dipastikan menurun. Jadi, semua pihak harus bersinergi mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga.

Sumber:
readmore »»  

Jumat, 12 Oktober 2012

Menanti UN 2013 yang Jurdil

Kisi-kisi Ujian Nasional (UN) 2013 sedang dalam proses perumusan. Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Muhammad Aman Wirakartakusumah mengatakan, perumusan kisi-kisi itu dilaksanakan  bersama dengan Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Kemdikbud. Direncanakan, kisi-kisi tersebut akan rampung pada bulan November, untuk kemudian di sosialisasikan ke sekolah-sekolah. Dalam kerangka itu, pihak sekolah hendaknya sudah mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi UN 2013. 

Kisi-kisi UN 2013, pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan kisi-kisi UN yang sebelum-sebelumnya. Sehingga pihak sekolah dapat menggunakan kisi-kisi UN 2012 atau 2011 sebagai bentuk persiapan awal antisipasi. Kisi-kisi UN 2013 didasarkan dan dikembangkan dari kurikulum tingkat satuan pendidikan. Atau dikembangkan dari standar isi sesuai permen 22 tahun 2006.

Dengan demikian, jika standar nasional dan standar isi kurikulum betul-betul dilaksanakan oleh guru, maka sesungguhnya UN dapat dikelola dengan lebih objektif. Hal ini karena, kisi-kisi hanya lebih mengoperasinalkan indikator dalam standar isi. Jadi, pada hakikatnya sekolah dapat melakukan persiapan awal, tanpa harus  menunggu kisi-kisi UN 2013.

Selain itu, sekolah juga dapat memanfaatkan hasil evaluasi dan kajian penyerapan pelaksanaan UN sebelumnya. Dalam kajian tersebut telah secara spesifik menggambarkan pemetaan penyerapan masing-masing mata pelajaran, di masing-masing provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah. Dengan kata kata lain, sekolah hendaknya memiliki data yang objektif terhadap hasil UN sebelumnya. Berdasarkan data tersebut dapat dilakukan berbagai upaya sebagai bentuk persiapan menghadapi UN 2013.

Berdasarkan hasil analisis yang cermat dan objektif, sekolah dan guru memiliki gambaran apa yang harus lebih difokuskan kepada para peserta didiknya. Sehingga anak bisa disiapkan dan lebih percaya diri saat melaksanakan UN. Sudahkah semua sekolah melaksanakan analisis ini? Apakah analisis data UN memberikan manfaat yang signifikan terhadap peningkatan kesiapan siswa menghadapi UN 2013?

Fakta di lapangan menujukkan, ternyata data yang diperoleh sebagian sekolah tidak menunjukkan kondisi yang sebenarnya (tidak valid). Terlalu banyak pengotor terhadap data dimaksud. Pengotor itu mulai dari pesiapan, pelaksanaan, sampai pada pengawasan. Misalnya, adanya kebocoran soal, beredarnya kunci jawaban, siswa bekerja sama dalam mengerjakan UN, dan berbagai masalah teknis di lapangan. Akibatnya, data yang diperoleh sangat manipulatif dan bias sehingga analisis dan pengambilan kesimpulan juga tidak tepat guna dan tepat sasaran. Artinya, masih ada dampak kekurangsempurnaan penyelenggaraan UN tahun sebelumnya terhadap kualitas UN 2013. Lalu, apakah penyelenggaraan UN 2013 dapat berlangsung lebih jujur dan adil? Tunggu hasilnya!

Selama UN dijadikan sebagai salah satu penentu kelulusan siswa, maka selama itu juga kecurangan UN akan terjadi. Karena semua pelaku pendidikan, mulai dari pemerintah daerah, sekolah, guru, siswa, dan bahkan orang tua siswa menjadikan kelulusan sebagai tolok ukur keberhasilan. Akibatnya, muncul berbagai daya upaya, bahkan dengan menghalalkan segala cara agar hasil UN tidak jeblok. Ketika ada paradigm seperti itu, yakinkah bahwa penggunaan 20 paket soal UN 2013 akan menghadirkan kejujuran? Sekali lagi, ini perlu pembuktian.


readmore »»  

Rabu, 10 Oktober 2012

Dana BOS SMA/SMK di Bali Dijatah Rp 151 Miliar


Pemerintah secara resmi telah menetapkan besaran bantuan operasional sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK) sebesar Rp 1 juta persiswa setiap tahun. Bertujuan untuk meningkatkan akses lulusan SMP melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan SMA/SMK. Selain itu, sebagai upaya mencapai sukses pelaksanaan 5K dari misi dunia pendidikan, yang terdiri atas ketersediaan layanan, keterjangkauan layanan, kualitas/mutu dan relevansi pendidikan, serta kesetaraan dan kepastian memeroleh layanan pendidikan.

Bantuan operasional sekolah (BOS) untuk SMA/SMK untuk mendukung pendidikan menengah universal atau rintisan wajib belajar 12 tahun ini rencananya akan dikucurkan mulai pada tahun ajaran 2013/2014 mendatang. Namun, sebagai langkah uji coba penyalurannya rintisan dana BOS untuk SMA/SMK ini telah dimulai pertengahan tahun ini. Tapi, jumlahnya masih relatif kecil sebesar Rp 120 ribu persiswa setiap tahun. Makanya, Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kemudian melakukan kajian berdasarkan UU Sisdiknas dan menetapkan alokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk SMA/SMK pada tahun depan lebih ditingkatkan menjadi Rp 1 juta persiswa setiap tahunnya.

Dalam rangka itu pula, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olaharaga (Disdikpora) Bali kini sedang giat-giatnya menggenjot kinerja dan etos kerja jajarannya dalam menyukseskan program rintisan dana BOS untuk SMA/SMK tahun ajaran 2013 mendatang.

Kepada koran ini, Rabu (10/10) kemarin, Kepala Disdikpora Bali, AAN Gde Sujaya mengatakan bantuan dana Bos untuk SMA/SMK Bali dijatah dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 151,5 miliar lebih. Alokasi dana BOS ini terdiri atas SMA baik negeri maupun swasta sebesar Rp 80,7 miliar lebih untuk 80.719 siswa, serta SMK baik negeri maupun swasta sebesar Rp  70,8 miliar lebih untuk 70.875 siswa.

Menurutnya, mekanisme penyaluran dana BOS ini dimulai dari usulan pihak sekolah dan komite sekolah serta diketahui oleh Disdikpora Kabupaten/Kota dan Disdikpora Bali. Setelah itu, baru dana BOS untuk SMA/SMK itu dapat direaliasikan melalui rekening komite sekolah.

Diharapkan, rintisan dana BOS untuk SMA/SMK ini dapat memperluas akses, menekan angka putus sekolah, dan meringankan beban masyarakat seiring akan digulirkannya rintisan program wajib belajar 12 tahun pada 2013.

“Meski belum dapat menggratiskan biaya pendidikan menengah setidaknya dana BOS untuk SMA/SMK ini mampu meringankan beban masyarakat dalam menyukseskan program pendidikan 12 tahun,” harapnya. Lebih jauh, dia meminta agar pihak sekolah nantinya dapat memanfaatkan dana BOS ini dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuannya demi upaya peningkatan mutu pendidikan dalam mencetak generasi emas bangsa yang unggul dan berkualitas.

readmore »»  

Selasa, 09 Oktober 2012

‘Konstitusi dan Negara Kesejahteraan: Pendidikan yang Memerdekakan’ Tersebab oleh UN


Siapakah sesungguhnya pemegang kendali pembelajaran dalam sistem pendidikan di negeri ini? Guru di sekolah, kurikulum pendidikan, ataukah para penentu kebijakan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?

Buku-buku teks yang memuat berbagai teori didaktik-metodik, yang tentu didukung pengalaman empirik di berbagai belahan dunia, selalu menempatkan guru sebagai simpul awal sekaligus akhir dari keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. Kurikulum dan infrastruktur pendidikan memang penting, tetapi ia hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Adapun penentu kebijakan lebih dimaksudkan sebagai fasilitator untuk mendinamisasikan arah yang ingin dituju.

Masalahnya, di negeri ini fungsi dan peran hakiki guru sebagai pendidik sudah bergeser jauh. Di tengah rezim pendidikan yang lebih mendewa hasil daripada proses, ditandai penyelenggaraan ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan, proses pembelajaran tak lagi tertuju pada upaya pemahaman dan penguasaan materi ajar yang aplikatif untuk menatap kehidupan di luar kelas. Apa yang disebut proses belajar-mengajar kini lebih terfokus pada upaya bagaimana bisa keluar sebagai pemenang, menaklukkan seperangkat model soal pilihan berganda yang akan menjadi penentu kelanjutan masa depan persekolahan peserta didik ke level berikutnya.

Fungsi guru sudah direduksi sedemikain rupa dan lebih diposisikan sekadar sebagai pengajar. Model dan strategi belajar pun penuh siasat, bagaikan sekompi pasukan tempur yang terjun ke medan perang untuk menaklukkan musuh bersama bernama UN. Latihan-latihan menyiasati model-model soal sudah jamak dilakukan. Proses pengerdilan pun terjadi. Bahkan, di banyak tempat, sejumlah guru menipu diri sendiri dengan ikut berbuat curang hanya agar anak didiknya lolos dari jerat UN.

Hak dan tanggung jawab mereka sebagai pendidik sudah tergerus kepentingan jangka pendek. Proses pembelajaran tak lagi diorientasikan untuk mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan anak. Ketika imajinasi disumbat, pendidikan pun kehilangan maknanya sebagai bagian dari proses pembudayaan.

Dalam diskusi panel Kompas bersama Lingkar Muda Indonesia di Bentara Budaya Jakarta, 5 September 2012, kegundahan itu kian meruyak. Sekolah diakui bukan lagi tempat yang menggairahkan untuk berkreasi. Seorang guru peserta diskusi sampai pada tahap ”putus asa” untuk terus berwacana, mengkritik, dan mengingatkan para pengambil kebijakan bahwa ada yang tidak beres dengan pengelolaan pendidikan saat ini. Terlebih menyangkut kebijakan UN, yang secara masif sudah mengubah orientasi pembelajaran di sekolah.

”Anehnya, ketika sekolah dikelompokkan jadi tiga kategori, ujian akhirnya hanya satu, yakni UN. Apakah ini masuk akal untuk orang sehat?” kata peserta lainnya. Tiga kategori dimaksud adalah sekolah reguler, sekolah standar nasional (SSN), serta sekolah bertaraf internasional/rintisan sekolah bertaraf internasional (SBI/RSBI).

UN yang Membelenggu

Sudah begitu banyak kata pengingat diucapkan, masukan disampaikan, bahkan gugatan melalui pengadilan pun sudah dilayangkan. Namun, semua itu tak didengar.

Putusan pengadilan yang memenangkan gugatan citizen lawsuit oleh 58 warga negara terhadap keberadaan UN, yang antara lain memerintahkan para tergugat—Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional (kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), serta Ketua Badan Standardisasi Nasional Pendidikan—agar terlebih dahulu ”…meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ujian nasional lebih lanjut… dan meninjau kembali sistem pendidikan nasional”, juga tak digubris.

”Kalau sistem pendidikan kita masih terus seperti ini, apakah mungkin kita bisa membangun pendidikan yang memerdekakan? Menurut saya kita tak perlu terlalu banyak lagi berwacana. Kita desak saja Menteri Pendidikan supaya kembali ke jalan yang benar,” kata seorang guru peserta diskusi.

Guru yang seharusnya jadi pemegang kendali pembelajaran di sekolah kini tak lebih hanya alat dari rezim pendidikan yang mendewakan hasil ketimbang pendidikan sebagai proses. Ketika keberhasilan anak diukur dari capaian angka-angka; ketika proses pembelajaran sekadar instrumen untuk memperoleh nilai tinggi; dan ketika kelulusan itu sendiri jadi penentu masa depan peserta didik, maka kecederungan umum mengorientasikan kegiatan belajar-mengajar pada pencapaian UN tak terelakkan.

Proses pembelajaran yang seharusnya memberi tekanan pada aspek kreativitas, pemecahan masalah, berdiskusi, presentasi dan riset—atau apa pun istilahnya—terbatas, akhirnya terpinggirkan. Alih-alih melahirkan kerja keras untuk menguasai materi ajar dalam rangka membangun pemahaman dan pengaplikasian ilmu untuk kehidupan, yang terjadi justru mereka bekerja keras terkait bagaimana menyelesaikan latihan-latihan soal. Kini UN sudah jadi belenggu dalam sistem pendidikan di negeri ini, terutama dalam upaya pengembangan potensi anak.

Persentase kelulusan tinggi dengan nilai-nilai yang bagus, yang oleh pemegang kebijakan serta-merta diklaim sebagai bukti mutu pendidikan kita meningkat berkat UN, adalah kesimpulan yang naif. Fakta empirik justru menampakkan gejala sebaliknya.

Masalah Rutin

Lihatlah pencapaian siswa Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes yang tak sekadar mengukur kemampuan anak memahami mata pelajaran di sekolah, tetapi juga bagaimana mereka mengaplikasikan pengetahuan itu untuk menyelesaikan masalah-masalah di dunia nyata, menempatkan anak-anak Indonesia di posisi ke-54-59 dari 65 negara pada 2006 . Pada 2009, tes kemampuan di bidang membaca, sains, dan matematika itu tetap tak beranjak. ”Kalau tidak di posisi ke-6, ya, paling tinggi ke-9 dari bawah di antara 65 negara,” kata salah seorang panelis.

Mengutip hasil kajian Profesor Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika dari Institut Teknologi Bandung, ternyata penyebab rendahnya kemampuan anak-anak Indonesia menyelesaikan soal- soal yang diberikan dalam PISA terkait erat dengan pelaksanaan model pembelajaran kita di sekolah yang sangat dipengaruhi target-target pencapaian UN.

Tersebab oleh UN, proses pembelajaran pun difokuskan pada kemampuan berpikir rutin, suatu kemampuan berpikir tingkat rendah. Ini ditandai kecenderungan kuat pada peningkatan intensitas belajar-mengajar lewat pembiasaan penyelesaian latihan-latihan soal UN, di mana soal yang satu dengan yang lain memiliki banyak kemiripan.

Hasilnya? Anak-anak Indonesia tidak diajar bagaimana menyelesaikan masalah dengan kreativitas mereka. Jika pembelajaran semacam ini terus berlanjut, anak-anak Indonesia tak akan siap menghadapi tantangan abad ke-21 yang butuh dasar-dasar kemampuan berpikir tingkat tinggi untuk memecahkan berbagai persoalan dunia nyata.

Diskusi Panel Kompas
KOMPAS, 09 Oktober 2012



readmore »»  

Percayakan kepada Pelajar Menyelesaikan Masalahnya Sendiri


DALAM pemberitaan tentang tawuran pelajar belakangan ini tergambar bahwa pemecahan masalah terhadap kejadian tawuran itu didekati sebagai peristiwa `kejahatan' yang harus mendapat hukuman yang setimpal sebagai upaya menegakkan hukum. Dalam hal ini, baik Menteri Pendidikan maupun para pakar pendidikan cenderung menanggapi tawuran sama dengan polisi menanggapi tawuran.

Polisi sebagaimana tugasnya mengatasi masalah kriminal ialah dengan menginvestigasi, menggugat, dan kemudian menyerahkan ke pengadilan. Sejalan dengan itu, Menteri Pendidikan dan pakar pendidikan juga berpandangan agar pelaku ditindak tegas atas kesalahannya. Sementara itu, anggota DPR menambahkan daftar yang dituntut untuk turut bertanggung jawab, yaitu kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, dan guru. Tampaknya, banyak pihak sudah lupa bahwa pendekatan keamanan dan pendekatan pendidikan adalah dua hal yang berbeda.

Tugas polisi menurut UUD `45 Pasal 30 ayat 4 berbunyi `Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum'. Adapun, Pasal 1 ayat 1 UU Sisdiknas No 20 Tahun 2005 menya takan bahwa `Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual ke agamaan, penguasaan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia. dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara'.

Dua kutipan pasal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan keamanan berbeda dengan pendekatan pendidikan. Sayangnya, ketika menanggapi tawuran yang berurutan terjadi di Jakarta akhir-akhir ini, Menteri Pendidikan malah berlaku sebagai polisi, ikut menginterogasi pelaku di kantor polisi. DPR juga mengomentari bahwa yang salah dalam peristiwa ini bukan hanya polisi atau intelijen, melainkan juga guru, kepala sekolah, dan kepala dinas pendidikan yang tidak berbuat apa apa, bahkan dipandang sama lalainya atau tidak pedulinya dengan intelijen kepolisian.

Sebagaimana dilaporkan oleh Kompas (27 September 2012), Mendikbud ikut `berbincang' dengan pelaku di Kantor Polres Jakarta Selatan dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Salah satu pertanyaan dijawab oleh pelaku bahwa dirinya merasa puas telah membunuh korban. Hal itu menimbulkan keterkejutan Pak Menteri sehingga beliau mengajukan pertanyaan penegasan apakah memang hanya kepuasan yang dirasakan oleh pelaku. Lalu, pelaku menambahkan bahwa dia juga menyesal. Pada kesempatan tersebut, Mendikbud menyimpulkan bahwa sanksi hukum bagi anak-anak yang terlibat kriminal, termasuk tawuran, harus ditegakkan.

Selanjutnya, Mendikbud menyatakan, “Sekolah perlu dibantu karena menerima beban luar biasa tidak hanya mendidik, tapi juga mengubah perilaku sosial siswa yang berat“. Bantuan seperti apa? Mendikbud hanya menyatakan bahwa dirinya `sedang berupaya memikirkan solusi untuk mengatasinya'.

Dari jawaban Mendikbud itu, kita mendapat kesan bahwa skenario pemecahan masalah yang paling jelas hanyalah dengan pendekatan keamanan. Adapun pendekatan pendidikan seolah-olah tidak memiliki skenario yang jelas sehingga Mendikbud pun mengatakan baru akan memikirkannya. Padahal, pengertian pendidikan menurut undang-undang di atas telah memberi petunjuk umum bahwa peserta didik harus difasilitasi untuk mengembangkan potensinya sendiri melalui suasana belajar dan proses pembelajaran. Jadi, peserta didiklah yang harus memproses pemecahan masalah melalui proses pembelajaran dan suasana pembelajaran yang difasilitasi oleh pendidik/guru.

Skenario Pemecahan Masalah
Agar peserta didik dapat mengembangkan potensinya sendiri, PP 19 Tahun 2005 Pasal 19 tentang standar proses telah mengatur sebagai berikut, `Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik'.

Standar proses itulah yang seharusnya menjadi skenario pemecahan masalah dari segi pendekatan pendidikan. Jadi, biarkan polisi menyelesaikan masalah tawuran ini sesuai dengan skenarionya dalam pendekatan keamanan. Adapun, bagi Mendikbud sendiri, jika ingin membantu sekolah dalam memecahkan masalah itu, fasilitasilah sekolah untuk dapat menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan skenario standar proses ini. Proses tersebut mengutamakan perlunya ditumbuhkan dan dihormatinya prakarsa murid sehingga timbul keyakinan dari peserta didik bahwa dia dipercaya untuk memecahkan masalah.

Anak yang diberi kepercayaan oleh orang-orang di sekitarnya (guru, orangtua, dan orang dewasa lain) akan merasa berbahagia dalam berkembang. Kebahagiaan dalam belajar ini akan mendorong mereka untuk mandiri dan percaya pada kemampuan dirinya karena mereka yakin bahwa apa pun yang mereka prakarsai akan didukung oleh orang-orang penting di sekitar mereka. Hal itu sejalan dengan prinsip reformasi pendidikan bahwa untuk menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya, maka peserta didik perlu dibantu untuk bisa terintegrasi dengan lingkungan sosial kulturalnya.

Untuk mencapai itu perlu dilakukan proses penahapan aktualisasi intelektual, emosional, dan spiritual peserta didik di dalam memahami sesuatu, mulai dari tahapan paling sederhana dan bersifat eksternal sampai tahapan yang paling rumit dan bersifat internal, yang berkenaan dengan pemahaman dirinya dan lingkungan kulturalnya.

Jadi, dasar skenario pemecahan masalah dengan pendekatan pendidikan ialah (1) peserta didik harus menjadi subjek yang dicintai sehingga menimbulkan rasa bahagia pada anak-anak, (2) peserta didik harus menjadi subjek yang diberi kepercayaan sehingga menimbulkan kemandirian pada anak, dan (3) peserta didik harus menjadi subjek yang diberi kesempatan bekerja sendiri sehingga menimbulkan prakarsa dalam memecahkan masalah sendiri dan bertanggung jawab.

Kalau saja guru diberi kesempatan dan ditingkatkan kemampuannya untuk dapat melakukan tiga hal di atas dan kepala sekolah, birokrasi pendidikan, Menteri Pendidikan, dan DPR dapat memahami skenario di atas, maka kita tidak perlu lagi memikirkan solusi dengan pendekatan keamanan, seperti membentuk satgas. Satgas tidak akan memecahkan masalah, tetapi hanya akan menimbulkan masalah baru.

Pembentukan satgas yang direncanakan pemerintah pada dasarnya bertentangan dengan wujud dari pelaksanaan skenario di atas, yaitu pemberian kepercayaan kepada peserta didik untuk menyelesaikan masalah tawuran itu sendiri dengan difasilitasi oleh guru.

Kini saatnya kita memberikan kesempatan kepada para peserta didik menciptakan prakarsa untuk memecahkan persoalan tersebut. Sebagai contoh, mereka dapat memprakarsai kegiatan diskusi, penelitian, lomba debat, dan sebagainya yang diselenggarakan dari murid, oleh murid, dan untuk murid.

Pembinaan Kompetensi Guru
Dengan uraian tersebut, menjadi jelas pula arah untuk membina kompetensi guru, yaitu kompetensi mencintai anak, memercayai anak, dan memberi kesempatan kepada anak. Tiga kompetensi itu menjadi senjata utama bagi reformasi pendidikan dengan mendahulukan proses pembelajaran yang menciptakan manusia sebagai subjek yang berbudaya dan memperbarui pandangan terhadap anak. Pesan-pesan dari atas harus selalu mengandung tiga hal tersebut. Apabila diperlukan, satu lagi yang pokok ialah peserta didik harus dikembangkan sebagai subjek yang berpikir logis, sistematis, kritis, dan kreatif.

Apabila pesan-pesan yang diterima oleh guru seperti itu, dengan sendirinya mereka dapat membedakan pendekatan pendidikan dengan pendekatan keamanan. Pendidik tidak akan pernah ingin menghukum dan tidak terlibat dengan proses menghukum yang dilakukan oleh polisi. Itulah yang disebut dengan menghargai atau memahami hak asasi anak-anak.

Pembinaan guru pun menjadi lebih sederhana, yaitu pengembangan kompetensi mencintai (bukan menghukum), kompetensi memberi kepercayaan (bukan menggurui), kompetensi memberi kesempatan (bukan mematikan prakarsa). Hal itulah yang seharusnya juga disadari oleh para kepala sekolah, birokrat pendidikan, dan Menteri Pendidikan.

Seharusnya tiga atau empat skenario tersebut sudah dimulai sejak UU Sisdiknas yang baru diundangkan. Tapi, kita tahu bahwa kebijakan pendidikan yang dijalankan oleh penanggung jawab pengelola pendidikan (Mendikbud) sering kali mengandung pesan yang tidak konsisten dengan skenario pendidikan menurut UU Sisdiknas No 20/2005.

Kebijakan yang dirumuskan di luar undang-undang, seperti peraturan pemerintah dan permendiknas, masih mengandung unsur-unsur yang dianggap tidak relevan dengan pembaruan. Permendiknas No 22 tentang Standar Isi, misalnya, masih berorientasi pada materi pendidikan atau mata pelajaran.

Menurut Kepala Badan Litbang Depdikbud pada 1999 dalam pengantar hasil penelitian potret kurikulum 1994, kurikulum harus berorientasi pada basic competencies. Kurikulum 1994 yang berorientasi pada materi pendidikan sudah harus ditinggalkan karena telah terjadi perubahan fundamental dalam kurikulum setelah terjadi reformasi dalam masyarakat Indonesia. Jadi, peristiwa tawuran yang sangat meresahkan kita semua saat ini mudah-mudahan menjadi pengingat bagi kita untuk menghidupkan kembali semangat reformasi pendidikan

Utomo Dananjaya ; 
Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina
MEDIA INDONESIA, 01 Oktober 2012


readmore »»  

Senin, 01 Oktober 2012

Wihhh! 20 Paket Soal dan Tanpa Pengawas pada UN 2013


Wacana perubahan diseputar penyelenggaraan ujian nasional (UN) tahun 2013 terus bergulir. Wacana terkini adalah penggunaan 20 paket soal dan penyelenggaraan UN tanpa pengawas. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mempersiapkan segalanya. Pemerintah bersikeras mempertahankan penyelenggaraan UN 2013 dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dapatkah kedua strategi itu mereduksi dugaan kecurangan dan meningkatkan kualitas serta tingkat kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan UN?

Sangat disadari oleh berbagai pihak, kecurangan pada penyelenggaraan UN 2012 masih terjadi. Kecurangan baik bersifat teknis maupun non teknis tidak dapat dihindari. Kecurangan ini ada yang terpublikasikan secara luas. Namun, ternyata lebih banyak yang tidak dipublikasikan. Hal ini karena berlangsung pada lingkaran orang-orang yang memiliki kepentingan sama. Sehingga lenyap ditelan bumi. Dalam konteks inilah, pemerintah mengeluarkan kebijakan menggunakan 20 paket soal UN. Kebijakan ini dikeluarkan untuk mengurangi kecurangan dan mengintegrasikan hasil UN sebagai instrumen untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN).  Mampukah kebijakan ini merduksi kecurangan itu? Agaknya, ini perlu pembuktian lebih lanjut.

Rencana pemerintah ini tak pelak lagi menuai pro dan kontra. Pemerhati pendidikan Arief Rahman mendukung rencana pemerintah untuk membuat tipologi soal Ujian Nasional (UN) menjadi dalam 20 tipe soal yang beragam. Dengan catatan, strategi akuntabilitas ini tetap harus memenuhi standar kualitas pendidikan dan  evaluasi yang merata.  Karenanya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mesti memperhatikan proses penyusunan tipologi soal agar tetap mementingkan kualitas dan mengindahkan azas keadilan. 

Namun, rencana pemerintah tersebut mendapat penolakan dari beberapa stakeholders pendidikan. Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listiyarti berencana melakukan penolakan terhadap kebijakan pemerintah menambah jumlah paket soal Ujian Nasional (UN). Alasannya, kebijakan baru tersebut akan menyebabkan kecurangan dalam UN kian masif dan sistemik.

Selama UN dijadikan sebagai salah satu penentu kelulusan siswa, maka selama itu juga kecurangan UN akan terjadi. Karena semua pelaku pendidikan, mulai dari pemerintah daerah, sekolah, guru, siswa, dan bahkan orang tua siswa menjadikan kelulusan sebagai tolok ukur keberhasilan. Akibatnya, muncul berbagai daya upaya, bahkan dengan menghalalkan segala cara agar hasil UN tidak jeblok. Ketika ada paradigm seperti itu, yakinkah bahwa penggunaan 20 paket soal UN 2013 akan menghadirkan kejujuran? Sekali lagi, ini perlu pembuktian.

Di lain pihak pemerintah terus berusaha menggulirkan strategi jitu mereduksi kecurangan UN. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali melontarkan gagasan baru menjelang Ujian Nasional (UN) 2013, yaitu UN tanpa pengawas ruang ujian. Mendikbud mengatakan, bahwa ketatnya penjagaan dan pengawasan pelaksanaan UN menyebabkan stigma negatif yang mengalahkan semangat kejujuran.

Apakah yang bakal terjadi manakala menggunakan 20 paket soal dan tanpa kehadiran pengawas dalam penyelenggaraan UN 2013? Betapa sulit dibayangkan, bagaimana situasi dan kondisi yang bakal terjadi di dalam ruang ujian. Karena, ketika ada pengawas di ruangan, kecurangan itu terjadi. Bagaimana kalau tidak ada pengawas di ruangan? Apalagi setiap siswa mendapatkan soal berbeda. Dapat dibayangkan betapa gaduhnya ruangan UN. Lalu, ada wacana pengawasan UN dilakukan dari jarak jauh atau menggunakan CCTV. Mungkinkah? (Gede Putra Adnyana, SMAN 2 Busungbiu, Buleleng)


readmore »»